Ketika berada di fase manik, penyintas bipolar mengaku merasa sangat senang dan bahagia.
“Aku punya energi banyak banget sampai dada aku tuh deg-degan dan kepala aku pusing banget,” cerita Afina.
Tapi saat datang fase depresi, Afina merasa sangat sedih hingga pernah berada di titik terendah dan dirawat rumah sakit jiwa.
“Tapi ketika aku ada di titik terendah, aku mikir ternyata aku dikasih kesempatan untuk hidup itu ada maknanya dan sebenarnya ada orang-orang yang sayang sama aku,” katanya.
Menurut Afina Syifa dirinya baru sadar mengalami gangguan kesehatan mental saat kuliah semester dua.
“Aku waktu itu masuk kelas terus aku ngerasa semua orang benci, gak suka sama aku. Tiba-tiba ada overthinking kayak gitu,” ujarnya.
Karena itu, Afina mengisolasi dirinya di kostnya selama tiga hari.
Baca Juga: Dua Tahun Pandemi, Mengapa Ada Orang yang Tidak Pernah Terinfeksi Covid-19?
“Selama tiga hari itu aku ngerasa gak berguna, gak ada yang sayang sama aku, bahkan orangtua pun aku ngerasa mereka gak sayang sama aku. Aku cuma bisa nangis tidur nangis tidur dan gak makan selama tiga hari,” tuturnya.
Setelah mendapat perawatan dan edukasi, kini Afina mengerti, asumsi bahwa tidak ada yang menyayangi dirinya adalah fase yang dibuat oleh fase depresi.
Saat itu, sempat terlintas di benak Afina bahwa solusi dari keadaannya yang sedang depresi adalah bunuh diri.
“Akhirnya aku langsung cari di google, how to kill myself without hurt myself,” ungkap Afina.