GridHEALTH.id - Aritmia adalah gangguan detak atau irama jantung.
Aritmia disebabkan oleh gangguan impuls jantung maupun gangguan penghantaran listrik jantung.
Hal ini dapat terjadi bila sel saraf khusus yang bertugas menghasilkan dan menghantarkan listrik tidak bekerja dengan baik.
Aritmia ini juga dapat terjadi bila bagian lain dari jantung menghasilkan sinyal listrik yang abnormal.
Gejalanya dapat dirasakan ketika jantung berdetak lebih cepat dari normal (takikardia) atau ketika jantung berdetak lebih lambat dari normal (bradikardia).
Jantung yang berdenyut lebih lambat tentu akan mengganggu peredaran darah ke otak. Walhasil penderitanya sewaktu-waktu dapat pingsan tiba-tiba.
Sebaliknya, jika jantung berdenyut terlalu cepat dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menimbulkan gejala berdebar, sesak napas maupun nyeri dada.
Dalam jangka panjang aritmia akan mengakibatkan gagal jantung kongestif menetap. Kondisi ini tentunya akan sangat merugikan kesehatan pasien.
Ketahuilah, gagal jantung kongestif adalah kondisi di mana jantung tidak memompa darah yang cukup ke organ tubuh dan jaringan lain.
Baca Juga: Menjelang Tidur Malam Waktu Terbaik Minum Obat Hipertensi, Studi
Normalnya, jantung berdenyut sebanyak 50-90 kali per menit. Saat denyut jantung berdenyut cepat dia akan berdetak hingga 200 kali per menit.
Denyut jantung melambat adalah ketika denyut irama jantung terhitung 40 kali per menit.
ketahuilah, riset dari New England Medical Journal (2001) menyebutkan bahwa PJK merupakan penyebab 80% gangguan irama jantung dan dapat berakhir dengan kematian mendadak.
Penyitas Aritmia Waspada Saat Olahraga
Bagi penyintas aritmia perlu extra waspada saat olahraga.
Menurut dr. Rerdin Julario, SpJP(K), Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Konsultan Aritmia dan Intervensi, sering kali mendapati kasus kematian seseorang saat tengah olahraga atau saat bertanding akibat aritmia.
" Aritmia biasanya muncul saat olahraga, stress atau setelah terpapar kafein, nikotin dan obat-obatan tertentu. Aritmia juga dipengaruhi oleh faktor risiko lain seperti memiliki penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, hipo/hipertiroid, penyakit jantung bawaan, dan faktor genetik," jelas dokter dari dari Mayapada Hospital Surabaya.
Selain itu, aritmia juga meningkatkan risiko seseorang mengalami stroke 4 – 5 kali lebih besar dibanding yang tidak mengalami aritmia.
Data CDC tahun 2017 menyebutkan bahwa aritmia menyebabkan stroke iskemik sebesar 15 persen – 20 persen.
Baca Juga: Stroberi Jadi Biang Keladi Hepatitis A Merebak di AS dan Kanada
"Untuk mendiagnosa aritmia, dokter akan mengevaluasi gejala dan riwayat medis pasien melalui pemeriksaan fisik dan penunjang, seperti Elektrokardiografi (EKG), Treadmill Test, Holter Monitor, dan Electrophysiology Study (EP Study)," jelasnya, dilansir dari Merdeka.com (1/06/2022), yang mengutip dari Antara (31/05/2022).
"Electrophysiology Study adalah golden standard untuk mendiagnosa aritmia. Dengan pemeriksaan ini, dapat dipetakan aktifitas listrik jantung sehingga titik penyebab gangguan kelistrikan jantung dapat diketahui. Berdasarkan hasil EP Study dapat ditentukan jenis aritmia dan terapi yang dibutuhkan untuk mengembalikan irama jantung normal," tambah dr. Rerdin.(*)