"Kita tahu bahwa walaupun sudah segitu, penyebarannya nggak merata. Hampir semua dokter numpuk di Jakarta, di daerah kurang," katanya.
Ia melanjutkan, "Itu salah satu penyebab fenomena ini (pengobatan alternatif)."
Masyarakat yang merasa putus asa dengan penyakit berkepenjangan dan belum bisa disembuhkan secara pengobatan medis, pada akhirnya memutuskan beralih ke metode pengobatan ini.
Profesor Ferdiansyah menjelaskan, pengobatan ini dikategorikan sebagai complementary atau pelengkap saat dilakukan bersamaan dengan terapi yang sudah tersandar.
Sedangkan disebut sebagai alternatif, apabila pengobatan dilakukan sendiri, tanpa ada terapi yang lainnya.
Selain di Indonesia, ternyata masyarkat di negara-negara maju pun juga masih banyak yang menjalani metode pengobatan tradisional ini.
"Fenomena ini dari literatur terbaru 2020, tidak hanya terjadi di negara kita. Negara yang kita anggap paling maju, Amerika Serikat misalnya ada 42% masyarakat dengan terapi ini," kata profesor Ferdiansyah.
Selain Amerika Serikat, masyarakat yang masih mengandalkan pengobatan alternatif juga berasal dari negara Australia (48%), Prancis (49%), China (40%), hingga Kanada (70%).
"Negara-negara Asia-Afrika itu 80% (percaya pengobatan alternatif)," jelasnya.
Ia menyebutkan, baik pengobatan alternatif maupun pengobatan medis, sebenarnya dapat saling melengkapi.
Asalkan telah memenuhi syarat seperti standarisasi dan juga monitoring efek samping dari terapi yang dijalankan. (*)
Baca Juga: Jangan Asal Urut Kaki Anak yang Cedera, Bila Salah Penanganan Bisa Mengganggu Tubuh Kembang
Source | : | KOMPAS.com,media briefing |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar