GridHEALTH.id - Selain untuk deteksi, Bioresonansi juga cukup efektif untuk mengobati ratusan gangguan alergi.
Selama ini, alergi ditahan dengan minum obat antialergi ataupun dikurangi dengan suntikan desensibilisasi secara teratur.
Minum obat sesekali tidak masalah, tetapi bagaimana jika harus mengonsumsinya dalam jangka waktu lama?
Tentu ada risiko kesehatan yang harus diambil. Efektivitasnya juga kadang menghilang seiring dengan waktu.
Baca Juga : Deteksi Alergi dengan Bioresonansi, Tak Menyentuh Tubuh Sama Sekali
Efek obat habis, gangguan alergi akan muncul kembali. Selain itu, ungkapan "hindari pencetus alergi" juga kadang tidak semudah membalikkan tangan. Ya kalau pencetusnya makanan, anak mungkin dapat berpantang.
Tapi bagaimana, papar dr. Syahrial Mukhtar, Kepala Klinik Bioresonansi, RS Pluit Jakarta Utara, jika pencetusnya adalah udara dingin yang merupakan fenomena alam, apa ya bisa menghindar selamanya?
Apalagi kalau anak tinggal di daerah dataran tinggi. Bagaimana pula jika pencetusnya adalah debu yang ada di mana-mana. Walhasil, si kecil pun menderita akibat gangguan alerginya.
Bersin-bersin di pagi hari, kulit gatal karena debu, atau asmanya mendadak kumat saat membaca buku-buku lama.
Baca Juga : Tips Supaya Bayi Tidak Terinfeksi Bakteri TBC, Lakukan 4 Hal Berikut
Dengan alat bioresonansi bernama Bicom, maka serangkaian gangguan alergi tersebut dapat diminimalkan, bahkan disembuhkan.
Berdasarkan penelitian Schumacher,jelas Syahrial, lewat terapi bioresonansi 83% pasien alergi sembuh total, alerginya tidak kambuh; 11% mengalami perbaikan, alergi yang dialaminya jarang kambuh; 4,5% alergi kembali lagi (relaps), umumnya ini dialami karena pasien tidak melakukan pantangan saat terapi.
Lalu sisanya (1,5%), tidak diketahui hasilnya, karena pasien tidak pernah kontak lagi dengan zat alergen.
Syahrial bercerita, dirinya pernah menerapi pasien anak, dan setelah empat kali terapi, pasien itu mengalami perbaikan. Kekambuhan alergi tidak terjadi lagi.
Bioresonansi bekerja dengan gelombang elektromagnetik yang dibalik, sehingga frekuensinya menjadi efektif dalam pemulihan kondisi kekebalan tubuh.
Baca Juga : Pengobatan TBC Pada Bayi Tidak Hanya dengan 1 Obat, Bisa 3 atau Lebih
Dengan kata lain, gelombang tubuh yang terganggu akibat alergen yang dianggap zat asing diperbaiki untuk selanjutnya dialirkan ke seluruh tubuh.
Dengan begitu, diharapkan sensitivitas tubuh pada zat alergen tertentu secara berangsur dapat dihilangkan. Jadi, tubuhlah yang memulihkan fungsi kesehatannya sendiri.
Proses terapi dapat dilakukan sambil duduk atau berbaring. Anak dijamin tidak merasakan sakit.
Untuk setiap alergen, lama proses terapinya antara lima sampai sepuluh menit. Terapi dilakukan seminggu dua kali, dengan jarak empat hari untuk setiap terapi.
Untuk setiap alergen dibutuhkan minimal empat kali terapi. Setelah itu dilakukan tes ulang, jika alergennya masih ada maka dilakukan pengulangan beberapa kali sampai hilang.
Baca Juga : Bayi Bisa Juga Terkena Penyakit Tuberculosis alias TBC atau TB
Sebelum terapi dilakukan, yaitu selama enam jam sebelum terapi, kita tidak minum kopi atau minuman dan obat-obatan berkadar kafein tinggi.
Pantangan ini tentu mudah dijalani anak. Selanjutnya, ada empat tahap yang harus dilalui.
Pertama adalah tahap basic, yaitu penyesuaian tubuh untuk menerima gelombang elektromagnetik.
Kedua geopaty, dilakukan dengan menempelkan sebuah alat ke bagian kaki. Tahap ini berfungsi menghilangkan efek radiasi akibat alat-alat elektronik di sekitar pasien.
Baca Juga : Ini Alasan Pria 17 Tahun Menikahi Wanita Usia 70 Tahun, Hormon Seksualnya Meningkat
Ketiga yaitu scar, dilakukan dengan alat yang sama namun diarahkan pada pusar pasien. Gunanya menghilangkan hambatan terhadap gelombang akibat luka atau keloid yang mungkin ada di tubuh pasien. Terakhir adalah terapi itu sendiri.
Agar proses terapi berlangsung efektif, maka pasien harus melakukan pantangan. "Kalau ternyata alergi kacang, ya selama terapi pengobatan jangan makan kacang dulu," ujar Syahrial.
Pantangan ini tentu tidak berlaku buat beberapa gangguan alergi seperti debu, misalnya. Debu ada di mana-mana, jadi tindakan menghindari alergen selama terapi boleh diabaikan.
Bagaimana jika pasien saat itu diharuskan mengonsumsi obat-obatan, baik untuk alergi maupun obat lainnya? "Tidak masalah, terapi ini dapat bersinergi dengan obat yang dikonsumsi anak," tandas Syahrial.
Baca Juga : Belum Hamil Juga? Adopsi Anak Bisa Memancing Kehamilan, Ini Korelasinya
Keuntungan lainnya, proses terapi dengan bioresonansi tidak menimbulkan efek samping.
"Sampai saat ini tidak ada laporan tentang efek samping akibat terapi ini," kata Syahrial.
Namun, untuk menjaga hal yang tidak diinginkan, ibu hamil atau pasien yang menggunakan alat pacu jantung dianjurkan tidak menggunakan terapi ini.