Find Us On Social Media :

Akibat Varian Delta Pandemi Covid-19 di Asia Tenggara dan Eropa Dihadapi dengan Cara Berbeda

Negara-negara Asia Tenggara menghadapi Covid, akan jadikannya sebagai endemi. Eropa, punya cara lain.

GridHEALTH.id - Kita tentu tahu WHO menempatkan virus corona varian Delta sebagai variant of concerns.

Dikategorikan sebagai varian yang mengkhawatirkan, karena virus varian Delta lebih mudah menular daripada virus asli, menyebabkan penyakit yang lebih parah, mengurangi netralisasi oleh antibodi secara signifikan, dan mengurangi efektivitas pengobatan, vaksin, atau diagnosis.

Baca Juga: ASI Dianggap Sudah Berkurang saat Usia 6 Bulan, Begini Cara Menyeimbangkan Pemberian ASI dan MPASI

Pejabat kesehatan di Inggris dalam riset internalnya terkait varian Delta telah menyatakan, varian ini 50% lebih mudah menular daripada varian Alpha.Studi lainnya dari Skotlandia, mengutip GridHEALTH.id (15/7/2021), menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi varian Delta dua kali lebih mungkin membutuhkan perawatan rumah sakit, daripada pasien Covid-19 yang terinfeksi varian Alpha.Hasil tersebut didapat setelah melakukan riset terhadap 19.543 kasus komunitas Covid-19 dan 377 rawat inap yang dilaporkan di Skotlandia pada 1 April hingga 6 Juni 2021.Jadi berdasarkan berbagai studi yang ada sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa varian Delta lebih berbahaya daripada virus corona yang sebelumnya kita hadapi selama pandemi, dan tak bisa dianggap sepele.

Di Dunia ini Asia Tenggara mendapat julukan sebagai kawasan paling rentan terhadap varian Delta.

Baca Juga: Mengobati Campak Jerman, Penyakit Menular Akibat Infeksi Virus

Hal itu ditunjukan dari apa yang terjadi si Singapura, yang merupakan negara dengan tingkat vaksinasi tertinggi di dunia, hingga 81 persen. Tapi karena varian Delta pemerintah dan negaranya kewalahan.

Karenanya tidak heran jika ada yang menyebut Asi Tenggara wilayah paling buruk di dunia akibat wabah Covid-19.

Menurut pemberitaan Bloomberg, tingkat kematian harian di banyak negara Asia Tenggara telah melampaui rata-rata global.

Tetapi banyak pejabat di kawasan itu khawatir ekonomi dapat runtuh jika pembatasan diperpanjang terlalu lama.

Malaysia telah memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk 2021 sebesar 50%, menjadi 3% -4% di tengah rekor peningkatan infeksi harian.

Baca Juga: Mendikbudristek Nadiem Makarim Beri Lampu Hijau Kuliah Tatap Muka Terbatas, Maksimal 25 Mahasiswa per Kelas

Menurut ekonom Wellian Wiranto dari Oversea-Chinese Banking Corp (Singapura), ekonomi negara-negara Asia Tenggara telah melemah oleh blokade berturut-turut, sementara orang-orang semakin kelelahan.

"Setiap harapan pembukaan kembali perbatasan yang luas untuk memfasilitasi arus perdagangan dan pariwisata di seluruh Asia Tenggara sekarang menjadi mimpi yang jauh," kata Wiranto, dikutip dari Intisari-online.com (14/9/2021).

Itulah sebabnya semakin banyak negara Asia Tenggara mengubah strategi mereka, bergerak untuk melihat Covid-19 sebagai "penyakit endemik".

Baca Juga: Pejabat dan Publik Figur Indonesia Sibuk Berharap Vaksin Dosis Ketiga, The Lancet Malah Sebutkan Vaksin Penguat Tidak Dibutuhkan Masyarakat Umum

Karenanya Malaysia, Indonesia, dan Thailand telah belajar dari pendekatan Singapura untuk "hidup dengan virus" alih-alih "menghilangkan Covid-19 secara radikal", seperti China.

Berlawanan dengan Asia Tenggara, Eropa telah menempuh perjalanan panjang dalam perjalanan pembukaan kembali ekonomi.

Dalam wawancara dengan BBC akhir pekan lalu, Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid mengatakan bahwa pemerintah Inggris akan menghentikan rencana untuk menyebarkan "kartu hijau vaksin Covid-19" dan akan segera membatalkan peraturan tersebut.

Ini adalah bagian dari rencana baru untuk mengurangi blokade lebih lanjut, karena jumlah rawat inap dan kematian akibat Covid-19 tetap rendah meskipun jumlah infeksi harian tinggi.(*)

Baca Juga: Mengenal Anti-VEGF, Obat Suntik Mata Bagi Penyandang Diabetes