Find Us On Social Media :

19 Kematian dalam 1 Menit Karena Resistensi Antibiotik, Cegah Kejadiannya dengan Pendekatan One Health

Antibiotik penggunaan antibiotik serampangan bisa menyebabkan malapetaka.

GridHEALTH.id - Antibiotik adalah salah satu temuan terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan kedokteran.

Antibiotik dapat membunuh bakteri jahat dan menyembuhkan seseorang yang terkena penyakit karena bakteri. Ingat karena bakteri, bukan karena virus.

Dewasa ini antibiotik tidak hanya membantu dalam melawan bakteri jahat, tetapi juga berperan dalam memengaruhi bakteri menjadi kebal atau resisten terhadap antibiotik itu sendiri.

Nah inilah yang dikhawatirkan. Jika sampai ini terjadi tak bisa dibayangkan apa jadinya dunia ini.

Untuk diketahui, antimicrobial review menyatakan prediksi bahwa apabila resistensi terhadap antibiotik tidak dikendalikan sejak saat ini, pada 2050 dapat terjadi 10 juta kematian terkait resistensi terhadap antibiotik.

Jumlah kematian ini sama dengan 19 kematian dalam 1 menit.

Apakah bisa dibayangkan terdapat 19 kematian di dunia ini setiap menitnya terkait dengan infeksi yang tidak bisa diatasi dengan antibiotik?

Bayangkan saat saudara atau anak atau orang tua kita sedang mengalami infeksi dan tidak dapat lagi ditolong dengan antibiotik.

Baca Juga: Dimasa Pandemi Covid-19 Terjadi Peningkatan Penggunaan Antibiotik Secara Drastis, Waspada Pandemi Baru

Saat itu kita hanya kita bisa menunggu kematiannya.

Perlu juga diketahui, dampak resistensi terhadap antibiotik diprediksi pada 2050 akan menyebabkan 28,3 juta orang jatuh miskin.

Kenapa? Biaya Kesehatan akan meningkat dari 300 milyar dolar menjadi 1 triliun dolar menurut prediksi Bank Dunia.

Hal ini akan berefek terutama pada negara-negara pendapatan rendah dan Indonesia dapat terdampak karenanya.

Nah, banyaknya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter, tanpa resep dokter, serampangan, tidak untuk bakteri, merupakan penyumbang terbesar resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan.

Hal ini menjadikan AMR salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.

Baca Juga: Selain Sebagai Bumbu Masak, Bawang Putih Juga Punya Khasiat untuk Kulit dan Rambut

Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015.

Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan.

Menurut penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies, rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar 10.400 Dollar AS atau sekitar 149 juta Rupiah, sedangkan bagi pasien yang resistan nilainya bertambah sebanyak 6.000 Dollar AS atau sekitar 86 juta Rupiah, yang meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.

Karena inilah yang mendorong Indonesia One Health University Network (INDOHUN) bekerja sama dengan Pfizer Indonesia untuk mengadakan Webinar dalam rangka peringatan World Antibiotic Awareness Week 2021 dengan tajuk: #TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia (5/11/2021).

Baca Juga: Banyak Pikiran Bikin Badan Nyeri, Bubble Warp Bisa Membantu Mengatasi

Seminar yang dihadairi GridHEALTH.id ini, ditujukan kepada para akademisi, praktisi, klinisi, dan masyarakat umum agar semakin sadar, peduli, dan tergerak untuk berkontribusi dalam menekan laju kasus resistensi antimikroba di Indonesia.

Pada acara tersebut, Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH. selaku Koordinator INDOHUN, mengatakan, “Berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165%."

Menurutnya, peningkatan tajam ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik.

Nah, menangani kejadian AMR, prinsip pendekatan One Health, yakni koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait (intersektoral).

Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit.

Baca Juga: Ruam Jadi Gejala Awal dan Komplikasi Diabetes, Begini Macam-macam Bentuknya

Selanjutnya, tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan dalam penanganan AMR.

Sama seperti pandemi COVID-19, program-program pemerintah akan berhasil jika didukung juga oleh masyarakyat.

Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan yaitu dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.

Pada kesempatan tersebut Prof. Agus meminta meminta kesediannya salah satu peserta yang hadir untuk berbicara mengenai hal ini. Beliau adalah dr Emil A.

Baca Juga: Healthy Move, Latihan Kardio Intensitas Rendah Menggunakan Trampolin Mini, Lutut Bebas Nyeri

Pada kesmepatan tersebut dr. Emil menyampaikan, terjadinya peningkatan pemberian dan penggunaan antibiotik selama masa pandemi Covid-19.

Tapi sayangnya hingga hari ini, "Belum ada laporannya dari Menkes, juga belum ada yang melaporkannya ke presiden. Padahal hal ini sangat berbahaya."

Jangan sampai ada pandemi baru gegara AMR.(*)

Baca Juga: Khasiat Obatal Alami Daun Sirih Merah Dalam Menyembuh Luka Infeksi, Tak Kalah Dari Antibiotik