Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dr Sally Aman Nasution mengatakan, berdasarkan bukti ilmiah terbaru terdapat obat-obatan Covid-19 yang sebelummya digunakan tapi kini tak lagi dipakai, lantaran tak memiliki manfaat.
"Ada beberapa terapi dan obat-obatan dulu dimasukan ke dalam buku tata laksana berdasarkan bukti ilmiah yang baru tidak terbukti manfaatnya," kata Sally dalam konferensi pers virtual, Rabu (9/2/2022).
Adapun obat dan terapi tersebut adalah Plasma Konvalesen, anti virus Oseltamivir, anti biotik Azithromycin, Klorokuin, dan Ivermectin.
"Itu kita tidak masukkan lagi, karena bukti ilmiahnya tidak cukup," imbuhnya.
Saat ini terdapat dua obat antivirus yang baru sebagai pilihan sesuai indikasi dan ketersediaan yaitu Molnupiravir dan Nirmatrelvir/Ritonavir (Paxlovid).
Kedua obat ini sudah dipakai sebagai obat antivirus untuk Covid-19 di berbagai negara.
Mengenai hal itu, Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Erlina Burhan menambahkan, untuk saat ini ada empat obat antivirus yang digunakan yakni Remdesivir, Favipiravir, Molnupiravir dan Nirmatrelvir/Ritonavir (Paxlovid).
Baca Juga: Lakukan 5 Tips Ini Untuk Meredakan Nyeri Menstruasi di Rumah
"Bahkan Ivermectin enggak pernah jadi obat standar. Hanya dinarasikan buku edisi 3, Ivermectin masih dalam uji klinis," paparnya.
Sedangkan menurut hasil penelitian yang telah dipublikasikan dari berbagai negara prihal TPK, menunjukan secara umum terapi plasma konvalesen masih diragukan efektivitasnya untuk penyakit COVID-19.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simonovich et.al. (NEJM, 2021), Agarwal et.al. (BMJ, 2020), Liu et.al. (Nat. Med, 2020), Salazar et.al. (Am. J. Pathol., 2020), dan Li et.al. (JAMA, 2020), menunjukkan bahwa pemberian plasma konvalesen pada subjek dengan kondisi COVID-19 sedang hingga kritis, tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna dalam hal penurunan angka kematian, durasi rawat inap, ataupun per-burukan penyakit jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil yang tidak efektif tersebut dimungkinkan karena titer antibodi plasma donor yang rendah atau donor berasal dari penyintas COVID-19 usia muda dan penyakit ringan (Agarwal et.al, BMJ, 2020), alasan lain adalah sebagian besar resipien sudah memiliki antibodi netralisasi bahkan sebelum diberikan terapi plasma (Gharbharan et.al., medRxiv, 2020), sehingga fungsi terapi plasma sebagai immunoterapi pasif tidak membuahkan hasil yang bermakna.