Satu atau lebih gejala yang disebutkan di atas, menurut Prof. Dr. dr. Wiryawan Permadi, Sp.OG(K) endometriosis merupakan penyakit yang sangat individual, dengan gejala dan dampak yang bervariasi.
Beberapa wanita memiliki nyeri yang ringan saat haid, namun ada yang memiliki gejala nyeri haid berat dan berulang.
Prevalensi endometriosis sebagai penyakit kronik progresif dengan rasa nyeri tinggi yang diderita oleh hampir 10% perempuan usia reproduktif di seluruh dunia.
Di Indonesia, prevalensi umum berkisar antara 3% - 10%, terutama pada perempuan dalam usia reproduksi.
“Perempuan dan anak perempuan yang memiliki kerabat dekat dengan endometriosis memiliki kemungkinan 7-10 kali lebih besar untuk memiliki endometriosis.
Endometriosis juga dilaporkan menelan biaya yang sangat mahal dalam perawatan kesehatan, ketidakhadiran dan kehilangan partisipasi sosial dan ekonomi,” jelas Prof. Wiryawan dalam webinar menerbitkan Pedoman Konsensus baru “Diagnosis Klinis dan Penatalaksanaan Medis Dini untuk Endometriosis : Konsensus untuk Asia” di Jakarta (29/03/2022).
Pedoman ini sejalan dengan tatalaksana terbaru yang diterbitkan oleh European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) pada tahun 2022, yang menjelaskan praktik terbaik penanganan perempuan pengidap endometriosis.
Kedua tatalaksana ini menekankan pentingnya prosedur non-invasif dalam diagnosis dan pengobatan awal untuk menciptakan perawatan yang berfokus pada pasien.
Baca Juga: Cinta Disebut Bisa Ubah Tubuh Perempuan, Ini Hal Lain yang Akan Berubah Ketika Seseorang Jatuh Cinta
Baca Juga: Main Gadget Lebih Dari 7 Jam Sehari Ganggu Kesehatan dan Emosi Anak
Baca Juga: Senam Pelvic Pria, Atasi Stres Hingga Bikin Hubungan Intim Makin Mesra
Sebagai contoh, pengenalan gejala sebaiknya dilakukan sebelum menggunakan laparoskopi untuk diagnosis, dan perawatan medis disarankan untuk manajemen nyeri pascabedah. (*)