Find Us On Social Media :

Pemahaman Keliru Prihal Ganja Medis di Indonesia, Jangan Salah Kaprah

Salah kaprah ganja medis di Indonesia.

GridHEALTH.id - Ganja medis banyak dipahami secara keliru di Indonesia.

Terlebih setelah viralnya seorang ibu yang berjuang untuk anaknya yang mengalami cverebral palsy, yang menurutnya membutuhkan ganja medis.

Tahukah, saking viralnya ganja medis di Indonesia, mengutip rilis dari IDI yang diterima redaksi GridHEALTH.id, banyak pemahaman yang kurang pas terkait dengan pengertian ganja medis.

Banyak masyarakat yang tahunya ganja medis itu adalah ganja yang dikenal selama ini.

Jadi aseolah-olah asal itu ganja, jika dipakai dengan alasan terapi, maka dapat disebut sebagai ganja medis.

Tentu hal ini menimbulkan pemahaman yang keliru di masyarakat.

Supaya tidak salah kaprah dalam memahami ganja medis, ketahuilah istilah ‘ganja medis’ adalah terjemahan dari bahasa Inggris "medical cannabis", dan itu digunakan dalam banyak literatur ilmiah.

Satu definisi dari salah satu sumber resmi yang mudah dipahami adalah: Medicinal cannabis is a medicine that comes from the cannabis sativa plant, dari https://www.healthdirect.gov.au/medicinal-cannabis).

Artinya obat yang berasal dari ganja.

Baca Juga: 5 Cara Aman Makan Daging Sapi Tanpa Khawatir Terkena Diabetes

Nah, karena itu adalah obat, maka tentu harus memenuhi sifat sebagai obat yaitu senyawanya terstandar, terukur dosisnya dan digunakan sesuai indikasi dengan cara yang tepat.

Jadi perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi.Menurut Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada, ganja memiliki beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.

Komponen utama pada ganja (Cannabis) adalah golongan cannabinoids.

Cannabinoids sendiri terdiri dari berbagai komponen, dimana yang utama adalah Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat Psikoaktif, dan Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat Psikoaktif.

THC menyebabkan efek-efek terhadap mental termasuk menyebabkan memabukkan dan ketergantungan.

Sedangkan CBD memiliki efek farmakologi sebagai anti kejang.

CBD memang sudah dikembangkan menjadi obat, dan sudah mendapat persetujuan oleh FDA, misalnya dengan nama Epidiolex, yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.

Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespon terhadap obat lain.

Baca Juga: Titik Pijat di Punggung yang Harus Diketahui dan Fungsinya Masing-masing

Bagaimana dengan obat untuk pasien cerebral palsy?Menurut Prof Zullies, untuk pasien Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja.

Tetapi tentu saja yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja, karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental dan memabukkan.

Tapi yang harus tekankan di sini adalah, kandungan dalam ganja medis bisa jadi alternatif pengobatan. Akan tetapi bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan.

Jikapun sudah jadi senyawa murni, seperti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten.“Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan. Meski demikian, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat."

"Posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat lain, jika memang tidak memberikan respon yang baik. Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan, itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas,” terang Prof Zullies.Adapun obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex ini bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM, dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.

Maka dari itu, jelas Prof Zullies, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganjanya, karena potensi penyalahgunaannya akan besar.

Baca Juga: Healthy Move, Malas Berolahraga, Gunakan 7 Trik Ini Untuk Melawannya

Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lain-lain walaupun alasannya adalah untuk terapi?

Dikuatirkan akan banyak ‘penumpang gelap’ yang akan menumpang pada legalisasi ganja. Berapa persen sih pengguna ganja yang benar-benar butuh untuk terapi dibandingkan dengan yang untuk rekreasi? Jadi mestinya yang dapat dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan yang sudah teruji klinis, yaitu CANNABIDIOL.

Karena itulah, Ketua Umum PB IDI, dr Adib Khumaidi, SpOT mengatakan bahwa sejauh ini riset lebih lanjut masih dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan.

IDI mendorong adanya riset terlebih dahulu sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis.

Para pakar IDI yang dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis.

“Proses di internal sudah dilakukan oleh IDI dengan elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Semuanya harus tetap berbasis evidence based, jangan sampai merugikan dan keamanan, keselamatan pasien harus diperhitungkan,” tegas dr Adib.(*)

Baca Juga: Atasi Asma Dengan Obat Herbal Versi TCM, Salah Satunya Xiao Qing Long Tang