GridHEALTH.id - Polemik BPA dalam kemasan makanan dan minuman hingga kini masih menjadi topik hangat.
Banyak pendapat ahli mengenai hal ini.
Bahkan ada juga pendapat yang tidak terlalau setuju dengan kebijakan BPOM RI prihal BPA pada kemasan pangan, khususnya galon air minum.
Salah satu ahli tersebut adalah Syaefudin, PhD, seorang Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB).
Menurutnya bahwa Bisfenol A (BPA) yang tidak sengaja dikonsumsi para konsumen dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh.Karena, jelas Syaefudin, BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh itu akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain.
Sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urin.“Jadi sebenarnya, kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh kita tubuh kita. Misalkan dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA," katanya.Dirinyapun mengingatkan, "Tapi, ketika dikonsumsi, yang paling berperan itu adalah hati. Ada proses glukorodinase di hati, di mana ada enzim yang mengubah BPA itu menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urin,” tambahnya.
Baca Juga: 5 Tips untuk Ibu dengan Puting Masuk ke Dalam Bisa Sukses Menyusui ASI
Bahkan Syaefudin pun menjelaskan, sebenarnya BPA ini memiliki biological half life atau waktu paruh biologisnya.Artinya, ketika BPA itu misalnya satuannya 10, masuk dalam tubuh, dia selama 5-6 jam akan cuma tersisa 5.“Nah, yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh. Artinya, yang berpotensi untuk menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” tuturnya.
Sekalipun demikian dirinya setuju jika konsentrasi BPA yang berpotensi masuk ke dalam tubuh itu perlu diawasi dengan ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).“Hal itu karena kita juga sebenarnya nggak tahu yang ada di sekeliling kita konsentrasinya berapa. Karena kita nggak tahu kalau nggak dibatasi, bisa saja ada yang nakal yang dengan seenaknya meningkatkan konsentrasinya di dalm kemasan,” ujarnya.Persoalannya, kata Syaefudin, yang sekarang ada dengan konsentrasi data dari BPOM baru-baru ini adalah konsentrasi dari uji yang di luar tubuh.“Data BPOM itu kan hasil uji di airnya dan bukan di dalam tubuh. Nah, kita butuh data sebenarnya. Kalau misalnya katanya kadar BPA itu sudah berada di atas 0,6 bpj yang masuk ke dalam air minum, itu kalau dikonsumsi itu sisanya berapa di dalam tubuh. Itu yang jadi penting. Jangan-jangan sebenarnya nggak masalah, karena pas masuk langsung keluar lagi,” ucapnya. Kalau sebenarnya konsentrasi BPA sebesar temuan BPOM itu tidak bermasalah di dalam tubuh.Menurutnya, BPOM tidak perlu membuat regulasi baru terkait pelabelan BPA “berpotensi mengandung” BPA dalam kemasan galon berbahan Polikarbonat itu.
“Kalau nggak masalah di dalam tubuh kenapa diregulasi. Yang jadi masalah itu kan ketika masuk di dalam tubuh, dan bukan yang ada di dalam airnya,” tukasnya. Katanya, perlu diketahui, sebenarnya pengujian terkait BPA ini banyak dilakukan di luar negeri.Di Eropa misalkan, rata-rata orang terpapar itu hanya sebanyak 0,5 mikrogram per kg, dan itu dianggap kecil sekali dibanding batas TDI-nya (Tolerable Daily Intake) di sana.“Sekarang 0,6 bpj yang data dari BPOM itu kan data yang dari luar atau airnya dan bukan yang setelah dikonsumsi. Seharusnya yang diuji BPOM itu adalah BPA ketika masuk ke dalam tubuh itu bagaimana. Ini kita belum ada datanya, apakah benar itu menimbulkan efek atau bahaya bagi tubuh kita,” ujarnya.Dari sisi seorang biokimia, menurut Syaefudin, uji BPA setelah dikonsumsi itu sangat perlu dilakukan.“Makanya yang perlu dicek sekarang itu adalah kondisi kita itu seperti apa sih dengan regulasi yang ada sekarang. Sebenarnya paparan eksisting kita itu berapa setelah berada di dalam tubuh," katanya.Kalau sudah tahu paparannya ini baru bisa jadi argumentasi yang logis untuk industri maupun masyarakat.Selama data ini tidak ada, BPOM tidak bisa lantas mengatakan bahwa BPA kemasan galon guna ulang itu berbahaya bagi kesehatan."Jangan-jangan, half life yang 5-6 jam itu mampu sudah mereduksi BPA itu,” katanya.
Baca Juga: Kehamilan Tidak Direncanakan Meningkat, Berisiko Sebabkan Anak Stunting