Setelah melakukan langkah konservatif dengan menghentikan penggunaan obat sirup sementara dan terlihat adanya perubahan jumlah kasus, Kemenkes menjelaskan alasan terjadinya lonjakan kasus, "Hal ini diduga akibat adanya cemaran senyawa kimia pada obat tertentu yang saat ini sebagian sudah teridentifikasi," jelas dr. Syahril.
Kemenkes juga memastikan bahwa gangguan ginjal akut sudah dipastikan bukan disebabkan oleh Covid-19, vaksin Covid-19, atau pun imunisasi.
"Kementrian Kesehatan bersama dengan IDAI dan profesi yang terkait telah menjurus kepada salah satu penyebab yaitu, adanya keracunan atau intoksikasi obat," tegas dr. Syahril.
Pengobatan Kasus Gangguan Ginjal Akut
Dengan adanya kondisi ini, maka Kemenkes pun melakukan langkah pengobatan yang cepat, dengan membeli obat antidotum yang disebut dengan fomepizole dari Singapura sebanyak 26 file dan dari Australia sebanyak 16 file.
Disebutkan pula bahwa Kemenkes akan menambah sekitar 200 file dari Jepang dan Amerika Serikat, di mana obat-obat ini seluruhnya akan didistribusikan ke rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia dan akan digratiskan untuk pasien.
Kemenkes menyebutkan dari 11 pasien di RSCM sudah ada 10 pasien yang mengalami perbaikan secara klinis saat diberikan fomepizole, sehingga tidak menyebabkan penambahan kasus kematian.
Selain itu, Kemenkes juga telah mengeluarkan surat edaran terkait diperbolehkannya kembali penggunaan 156 obat sirup yang sudah dinyatakan tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol mengikuti hasil yang telah dikeluarkan oleh BPOM.
156 obat ini terdiri dari 23 obat yang didapat dari 102 obat di rumah pasien dan 133 obat lainnya berdasarkan dari data registrasi yang dimiliki oleh BPOM.
Selain dari 156 obat sirup ini, maka penggunaan dan penjualannya untuk sementara masih tetap dihentikan hingga mendapatkan hasil penelusuran lanjutan.
Dengan adanya peristiwa ini, dr. Syahril menyebutkan ini menjadi momentum untuk masyarakat memperhatikan lebih lanjut penggunaan obat yang baik dan benar, tidak sembarangan dan perlu dilakukan pemantauan. (*)