GridHEALTH.id - Kebutuhan gizi yang baik bagi masyarakat Indonesia saat ini belum terpenuhi.
Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mencatat pada 2021, ada sekita 69,1% masyarakat Indonesia yang tidak bisa memperoleh makanan bergizi.
Kondisi ini mengakibatkan prevalensi stunting yang masih cukup tinggi, yakni 24,4%.
Literasi makanan bergizi di masyarakat rendah
Sepanjang 2022, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama Majelis Kesehatan PP Aisyiyah dan PP Muslimah Nadhatul Ulama (NU) melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gizi.
Menurut Ketua Harian YAICI Arif Hidayat, kecukupan gizi masyarakat tak hanya berkaitan dengan ekonomi saja.
Tapi, juga pengetahuan masyarakat tentang makanan bergizi, budaya, kebiasaan, serta data yang real dari pemerintah.
"Selama ini kita selalu berlindung di balik alasan masyarakat kesulitan ekonomi sehingga tidak sanggup mencukupi gizi keluarganya," kata Arif dalam Diskusi Media Laporan Capaian Edukasi dan Peningkatan Literasi Gizi Masyarakat 2022, Senin (12/12/2022).
"Tapi di luar itu, ada hal-hal yang sebetulnya bisa kita lakukan untuk memperbaiki gizi masyarakat, salah satunya adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Setidaknya, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi, masyarakat dapat lebih memprioritaakan pengeluaran rumah tangganya," sambungnya.
Di wilayah Timur Tengah Selatan Indonesia, Nusa Tenggara Timur misalnya, masyarakat mengaku tidak berkecukupan.
Hanya saja, mereka memberikan uang jajan dalam jumlah besar ke anak untuk dibelikan minuman berperisa yang tidak bergizi.
Padahal, untuk bisa mengonsumsi makanan bergizi masyarakat tersebut bisa karena merupakan daerah penghasil ikan.
Baca Juga: Pentingnya Tablet Tambah Darah Bagi Remaja Putri, Cegah Anemia Hingga Stunting
Selain dari kebiasaan masyarakat yang mengonsumsi makanan tidak sehat, Arif juga menyoroti data dari pemerintah terkait status gizi yang tidak sepenuhnya tepat.
"Kadang kita temui daerah-daerah yang mengklaim penurunan angka stunting yang cukup tinggi. Kami selalu mempertanyakan apakah angka tersebut hasil pendataan real di lapangan atau sekadar mengejar target yang ditetapkan?" ujar Arif.
"Karena data-data dari masyarakat tersebut adalah dasar bagi pemerintah melakukan intervensi gizi untuk masyarakat. Jika angkanya di kecilkan artinya ada masyarakat yang kehilangan haknya," pungkasnya.
Konsumsi kental manis masih tinggi di masyarakat
Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Dra. Chairunnisa mengatakan bahwa masih banyak keluarga yang memberikan kental manis kepada anak.
Padahal, kental manis bukan pengganti susu dan inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya gizi kurang hingga ada anak yang terindikasi stunting.
"Dari hasil penelitian, kental manis masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat terutama di remote area. Berdasarkan penelitian Aisyiyah, faktor pemberian kental manis karena pemasukan bulanan mereka masih banyak di bawah Upah Minimum Regional (UMR), jelasnya.
Kemudahan untuk mengakses produk ini, juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat menjadikan kental manis sebagai pengganti nutrisi gizi bagi anak.
Karena faktanya, di wilayah Jabodetabek pun juga masih banyak ditemukan anak yang diberikan kental manis oleh orangtuanya.
"Presepsi orangtua yang memberikan SKM kepada anaknya masih tinggi di Jabodetabek, terutama daerah Jakarta Timur yang mengarah ke Bekasi dan indikasi gizi buruknya cukup tinggi," jelas Arif.
Ditekankan oleh Chairunnisa, pentingnya tingkat literasi untuk meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan gizi dan stunting.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Ema Yulia Soefihara selaku Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, mengatakan perlunya ada pemahaman bagi para remaja putri hingga ibu muda bahwa anak merupakan investasi.
Sehingga, agar anak cerdas di masa depan, kebutuhan protein dan asupan gizinya harus diberikan secara optimal sejak dini. (*)
Baca Juga: Anak-anak di Perkotaan Juga Berisiko Stunting, Makanan Instan Jadi Pemicunya