GridHEALTH.id - Demam berdarah dengue (DBD) kasusnya masih cukup tinggi di Indonesia.
Hingga Juli 2023, tercatat kasus DBD di Indonesia sudah mencapai sekitar 35.694 kasus.
Penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti pembawa virus dengue, tak bisa disepelekan karena bisa berakibat fatal.
Untuk menurunkan angka kasus DBD, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melengkapi upaya yang sudah ada dengan melakukan pelepasan nyamuk wolbachia.
Dengan disebarkannya nyamuk wolbachia, diharapkan angka kejadian DBD dapat berkurang.
Meski dilakukan dengan tujuan positif, tapi pelepasan nyamuk wolbachia menuai pro dan kontra di masyarakat.
Nyamuk tersebut disebut sebagai rekayasa genetik hingga gigitannya dapat menyebabkan penyakit japanese encephalitis.
Bukan Sebuah Rekayasa Genetik
Guru Besar Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Prof. DR. Adi Utarini, M.Sc., MPH., PHD., menegaskan kalau inovasi ini bukan sebuah rekayasa genetik.
Sebagai informasi, wolbachia merupakan bakteri alami yang hidup lebih dari 50% serangga yang ada di sekitar.
Penelitian terkait hal ini sudah dilakukan di Yogyakarta sejak 2011 lalu, diawali dari empat Kabupaten/Kota yakni Sleman dan Bantul.
Hasilnya ditemukan bahwa wolbachia ada di 50% serangga yang ada di alam.
Baca Juga: Kasus DBD Meningkat Setiap Tahun, Ini 3 Program Kemenkes untuk Mencegahnya
"Wolbachia adalah bakteri alami, ketika dimasukkan pada telur nyamuk aedes mekanismenya adalah menghambat atau memblok virus dengue-nya," ujarnya dalam media briefing yang diadakan PB IDI, Senin (20/11/2023).
"Kami tegas mengatakan ini bukan rekayasa genetik," tambahnya.
Ketika bakteri ini dimasukkan pada sel telur nyamuk aedes aegypti, maka akan memblokir virus dengue, sehingga saat menggigit manusia, virus dengue tidak akan berpindah dan menyebabkan penyakit.
Lantas, bagaimana informasi tentang nyamuk wolbachia yang menyebabkan japanese encephalitis?
Gigitan Nyamuk dan Risiko Japanese Enfalistis
Terkait hal tersebut, peneliti utama riset nyamuk ber-wolbachia ini juga menegaskan kalau informasi tersebut tidak benar. Karena keduanya merupakan penyakit yang berbeda.
"Tidak ada hubungannya dengan teknologi wolbachia," ujarnya.
dr. Riris Andono Ahmad, BMedSc, MPH, PhD, peneliti riset nyamuk ber-wolbachia di Yogyakarta lainnya dari UGM juga menekankan bahwa itu merupakan sebuah misinformasi.
"Setiap penyakit yang berbasis vektor, itu punya vektornya sendiri-sendiri dan tidak bisa saling memengaruhi," katanya.
Ia memaparkan, nyamuk aedes aegypti umumnya menularkan empat penyakit yakni dengue (DBD), zika, chikungunya, dan yellow fever.
"Kalau nyamuk aedes aegypti ya akan memengaruhi empat penyakit tadi, kalau japanese enfalistis ya pengaruhnya karena ada nyamuk culex," pungkasnya.
Nyamuk wolbachia bukan merupakan rekayasa genetik dan gigitannya juga tidak akan memindahkan bakteri tersebut ke manusia karena hanya bisa hidup di sel nyamuk, serta tidak ada kaitannya pula dengan japanese enfalistis. (*)
Baca Juga: Awas Gigitan Nyamuk DBD Mengganas saat Suhu Panas, Ini Cara Menghindarinya