GridHEALTH.id - Ban adalah karet bundar yang biasa digunakan pada kendaraan, baik roda dua, roda empat atau lebih, bertenaga mesin berbahan bakar fosil, atai kendaraan listrik.
Tapi tahukah, ternyata ban alias si karet bundar tersebut bisa mencemari makanan, khususnya sayuran dan buah-buahan yang kita konsumsi sehari-hari, sehingga membahayakan kesehatan. Kok bisa?
Kita semua tentu bingung membaca kalimat di atas, sebab dimana hubungannya ban dan bahaya kesehatan karena ban bisa mencemari sayuran juga buah-buahan.
Supya tidak bingung, simak terus artikel ini yang akan mencoba menjelaskan hal yang ilmiah menjadi sesederhana mungkin, sehingga mudah dipahami oleh kita semua.
Untuk diketahui, ban pada kendaraan adalah material komposit yang tersusun dari karet, baja, dan serat. Ban juga merupakan salah satu polimer sintetis (polistirena) yang berbahan dasar karet.
Ban tersusun atas bahan karet atau polimer yang sangat kuat, diperkuat dengan serat-serat sintetik dan baja yang sangat kau menghasilkan suatu bahan yang mempunyai sifat-sifat unik seperti kekuatan tarik yang sangat kuat, fleksibel, ketahanan pergeseran yang tinggi.
Sebuah ban mengandung tiga puluh jenis karet sintetis, delapan jenis karet alam, delapan jenis karbon hitam, tali baja, poliester, nilon, manik-manik baja, silika, dan empat puluh jenis bahan kimia, minyak dan pigmen.
Jadi bisa dilihat, dari paparan di atas diketahui jika ban kendaraan mengandung unsur kimia.
Nah, bahan kimia pada ban termasuk yang berbahaya bagi kesehatan.
Ketahuilah, menurut Dr. rer.nat. Budiawan, dari Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia, bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang karena klasifikasi dan kategori tingkat bahayanya serta konsentrasi dan/atau jumlahnya dapat mengakibatkan dampak negatif, atau kerugian bagi manusia dan pencemaran atau kerusakan lingkungan.
Baca Juga: Dialami Saat Haid, 7 Obat Jerawat yang Bagus dan Aman untuk Kulit
Source | : | Republika,Ocw.ui.ac.id-Kimia,Eprints.polsri.ac.id-kimia |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar