GridHEALTH.id - Obat antinyamuk dengan penggunaan disemprot, dibakar, dipanaskan (dengan listrik), maupun yang dioleskan ke tubuh semuanya tak menjamin keamanan bagi kesehatan manusia, apalagi pada anak dan bayi.
Mengapa tidak aman? Karena obat antinyamuk terbuat dari bahan kimia sintetik. Seperti senyawa kimia organofosfat dan karbamat, yang termasuk dalam golongan pestisida.
Baca Juga : Jangan Terkecoh Indahnya Mata bayi, Bisa Jadi Ada Masalah Penglihatan
Kedua bahan kimia tersebut bisa menghambat kerja enzim acetylcholinesterase (AChE), yaitu enzim yang berkerja pada sistem sawar otak dan dapat memicu transfer sinyal (neurotransmitter) pada saraf manusia.
"Jadi jika kita merasa pusing, mual, setelah mencium obat anti nyamuk, itu tandanya kita sudah keracunan.” Papar Dr. rer. nat. Budiawan.
Baca Juga : Perjuangan Anak yang Bertahan Hidup dengan Otak di Luar Kepala
Selain bahan kimia organofosfat (diklorvos/DDVP) dan karbamat (antara lai, propoxur), kebanyakan obat anti nyamuk yang beredar saat ini mengandung bahan kimia aktif golongan pyrethroid, diantaranya allethrin, bioallethrin dan transflutrin.
Baca Juga : 5 Manfaat Berenang untuk Anak, Membuat Anak Fokus di Sekolah!
"Tentu semua bahan insektisida pada prinsipnya sangat berbahaya. Apalagi jika digunakan secara tidak proporsional, dapat emicu terjadinya kerusakan sistem saraf." Jelas Budiawan.
Apalagi pada beberapa obat anti nyamuk yang beredar di pasaran, ada penambahan S2 (octachloro dipropyl ether).
Baca Juga : Ini Dia, 5 Latihan Sederhana Bakal Bikin Langsing Dalam Satu Bulan!
S2 menyebabkan obat anti nyamuk lebih ampuh membunuh segala nyamuk dan serangga lainnya, sepert kecoa, lalat, semut.
Baca Juga : Paracetamol dan Ibuprofen Keduanya Obat Penurun Panas, Untuk Anak Jangan Sampai Salah Pilih
"Asal tahu jika dimasukan s2 jadinya lebih berbahaya bagi manusia, karena jika dibakar, bahan tersebut dapat menghasilkan BCME (bischloromethyl ether) yang berisiko memicu kanker paru-paru," tutup Direktur Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan FMIPA, Universitas Indonesia (Puska RKL UI) ini, yang juga peneliti dan dosen Toksikologi pada Departemen Kimia FMIPA UI.