Find Us On Social Media :

Bangga, Ada Orang Indonesia Jadi Pakar PCR Covid-19 di Inggris

Susanti ilmuwan Tes PCR Indonesia yang kini bekerja di Inggris.

 

GridHEALTH.id - Cara untuk memastikan apakah seseorang terinfeksi virus corona atau tidak, terdapat beberapa jenis tes yang bisa dilakukan.

Hampir semua negara kini memiliki caranya masing-masing untuk melakukan tes ini dan beberapa tes banyak yang tengah dikembangkan produsen komersial.

Sebelum melakukan tes, penting untuk mengetahui bahwa tiap negara juga memiliki prioritas sendiri untuk orang-orang yang bisa melakukan tes. Sebab menurut banyak pihak, tidak semua orang perlu diuji untuk Covid-19.

 Seperti pada kebijakan beberapa negara, mereka yang tidak perlu melakukannya misalnya orang-orang yang tidak memiliki gejala sama sekali atau hanya menunjukkan gejala yang ringan dan bisa pulih di rumah.

Sejauh ini pemerintah Indonesia sudah memiliki tiga jenis pemeriksaan, yakni tes cepat molekuler (TCM), polymerase chain reaction (PCR), dan rapid test.

Berbicara mengenai tes ini, kita perlu mengenal Susanti yang adalah salah seorang diaspora Indonesia. Ia dikirim ke Inggris untuk ikut proyek Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19. Begitu ada kasus virus corona di Indonesia, Susanti langsung didaftarkan untuk ikut dalam konsorsium sebagai salah satu diaspora.

Dosen Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) ini juga diajak bergabung menjadi anggota Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 di bawah Kementerian Riset dan Teknologi.

Di balik sederet prestasi membanggakan itu, Susanti sebenarnya sedang berjuang melawan Penyakit Kanker Usus yang dideritanya.­

Selama menjadi dosen di Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Susanti sudah akrab dengan metode Polymerase chain reaction (PCR), bahkan sebelum pandemi corona merebak.

 

Pada saat pandemi virus corona muncul, jenis tes PCR adalah jenis pemeriksaan untuk mendeteksi Covid-19 yang akan menggunakan sampel lendir dari hidung atau tenggorokan.

Dua lokasi ini dipilih karena menjadi tempat virus akan menggandakan dirinya. Namun, beberapa sampel seperti sampel cairan dari saluran pernapasan bawah atau mengambil sampel tinja juga bisa jadi pilihan untuk tes ini. Virus yang aktif akan memiliki material genetika yang bisa berupa DNA maupun RNA.

Nah, pada virus corona, material genetik tersebut adalah RNA. Material ini yang diamplifikasi dengan RT-PCR sehingga bisa dideteksi.

Berbeda dengan TCM, metode pemeriksaan ini membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan hasilnya karena melalui dua kali proses yaitu, ekstraksi dan amplifikasi. 

Susanti menceritakan, penelitian doktoralnya tentang studi genetik pada kanker usus besar atau kolorektal menggunakan cara tersebut. “Tes PCR itu kegiatan sehari-hari saya,” katanya.

Karena keahliannya dalam bidang PCR, ia kemudian didaftarkan untuk mengikuti konsorsium di Inggris oleh Direktur Jendral Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Ali Gufrom Mukti.

Selama konsorsium itu, tugasnya adalah merumuskan penelitian bersama tim University of Nottingham dan LIPI mengenai metode PCR yang efektif dalam mendeteksi Covid-19 di dalam tubuh.

Selain itu, mereka juga mengembangkan cara sequencing yang dianggap lebih mudah mengenali SARS-CoV-2, virus penyebab Co­vid-19.

Namun, di balik itu semua, Susanti harus menahan rasa sakit. Pada Januari 2014, Susanti divonis menderita kanker usus stadium III. Dari situ ia sadar hanya 50-70 % penderitanya yang mampu bertahan hidup sampai lima tahun.

Kalaupun pulih, ia juga sadar bahwa kemungkinan kambuhnya akan besar. Selama tiga tahun, ia bolak-balik rumah sakit untuk menjalani operasi dan kemoterapi. (*)

#berantasstunting #hadapicorona