Epidemiolog Tak Setuju PPKM Mikro Dilakukan, 'Bisa Jadi Bom Waktu'

Polisi dan petugas keamanan inspeksi PPKM Mikro di suatu wilayah untuk  posko penanganan Covid-19.

Polisi dan petugas keamanan inspeksi PPKM Mikro di suatu wilayah untuk posko penanganan Covid-19.

Windhu meminta untuk jangan terus menerus melakukan coba-coba saat pandemi Covid-19.

Harus bersungguh-sungguh jika ingin berbasis masyarakat, seperti kampung tangguh. Namun jangan menerapkan PPKM mikro yang membuat zonasi yang justru berbahaya. Sebab, peta zonasi belum menggambarkan yang sesungguhnya alias seperti peta buta.

Pakar Kesehatan Masyarakat dan Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. dr. Windhu Purnomo, MS

"Jadi kalau memang mau betul-betul mau di tingkat RT/RW, bukan zonasi seperti ini. Tapi yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat untuk pencegahan, penanganan, sampai sumber dayanya saling membantu karena tidak boleh bergerak," ujarnya.

Karena sudah terlanjur diterapkan, Windhu menyarankan PPKM mikro ini jangan lama-lama.  Setelah itu kembali ke makro.

"Dan ketika makro, semua kabupaten/kota di Jawa-Bali dilakukan secara serentak. Zonasi itu harus betul-betul membawa konsekuensi kebijakan dan implementasinya, berdayakan masyarakat bahwa penanganann pandemi gerakan masyarakat," tambahnya.

Dia menegaskan, tracing yang semakin rendah itu seharusnya semakin makro, bukan semakin mikro.

"Hal itu dinilai keliru secara konseptual dan keilmuan. Sebab tidak memiliki peta, tetapi berani mengambil skala mikro yang justru bisa membahayakan dan menjadi bom waktu.

Baca Juga: Tak Usah Malu-malu, Uang Memang Menjadi Sumber Kebahagiaan, Studi

Baca Juga: 6 Skrining Kesehatan Penting Untuk Menjaga Pria Agar Tetap Sehat

Karena RT yang dianggap risiko rendah hijau atau kuning kemudian warganya dibebaskan, longgar. Padahal mungkin di situ adalah zona hijau dan kuning yang palsu, karena testing yang rendah. Artinya ini berbahaya. Kalau mau melakukan mikro lakukan tracing dan testingnya dulu. Sebanyak-banyaknya." (*)