Menurutnya 3 pendekatan yang dapat menilai efektivitas PPKM darurat yang sudah dilaksanakan selama ini tersebut adalah epidemiologi, sistem surveilans dan sistem pelayanan kesehatan.
Pertama, epidemiologi yaitu dilihat dari jumlah kasus baru dan juga angka kepositifan.
Untuk evaluasi PPKM darurat dapat saja dipilih kalau angka kasus baru per hari sudah lebih rendah dari jumlah tertentu, misalnya di bawah 10.000 per hari.
Kemudian, angka kepositifan. Untuk ini maka memang sebaiknya dipakai patokan 5 % agar menjamin penularan di masyarakat memang sudah rendah.
"Apalagi banyak negara tetangga kita (dan juga India) angkanya memang 2% atau 3% saja, kecuali negara tertentu," ujarnya Prof Tjandra.
Lalu yang kedua adalah kriteria surveilans kesehatan masyarakat, setidaknya dua hal yang harus dicapai, yakni jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan dengan amat tinggi, dan kegiatan dilanjutkan dengan telusur yang masif.
"Kalau India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta orang seharinya dan melakukan tes sampai 500 ribu sehari nampaknya patut dikejar untuk dicapai," ungkap Mantan Direktur WHO Asia Tenggara ini.
Sesudah itu, setiap kasus positif perlu ditelusuri antara 15-30 kontak.
"Kalau diantara mereka ada yang ternyata positif Covid-19 maka harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya lagi, dan demikian seterusnya," kata dia.
Memang dengan jumlah tes yang besar dan akan ditemukan kasus yang lebih banyak, tapi ini mendapatkan gambaran yang sebenarnya terjadi dan dapat mengambil kebijakan.
Ketiga adalah kriteria sistem pelayanan kesehatan dalam evaluasi PPKM darurat maka dapat dilihat dari keterisian tempat tidur (“Bed Occupancy Rate – BOR”) rumah sakit.
Dalam hal ini harus diingat bahwa angka BOR bisa dapat fluktuatif, tergantung berapa banyak tempat tidur yang diperuntukkan untuk pasien Covid-19, sehingga kadang-kadang membaca angka BOR perlu secara kritis.
Baca Juga: Tak Lagi Pakai Istilah Darurat, Ini Aturan PPKM Level 4 yang Diterapkan di 6 Provinsi di Jawa-Bali