Find Us On Social Media :

Cuaca di Suatu Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Covid-19, Cuaca Dingin Membuat Virus Mengganas?

Cuaca dingin Vs panas dan pengaruhnya terhadap Covid-19.

GridHEALTH.id - Banyak informasi yang berseliweran mengatakan jika virus corona penyebab Covid-19 yang saat ini menjadi pandemi dunia, lebih banyak hidup dan aktif menginfeksi manusia di cuacatertentu.

Tidak sedikit yang mengatakan jika virus corona menjadi ganas di cuaca dingin.

Jika itu benar, mengapa di Amerika Serikat sebagian besar kasus Covid-19 terjadi selama musim panas yang panas dan lembab?

Memang untuk virus  influenza dan virus pernapasan syncytial lebih sering terjadi selama musim dingin di daerah beriklim sedang di dunia.

Tapi yang sedang kita hadapi ini adalah virus corona, penyebab Covid-19.

Dimana studi tentang SARS-CoV pertama pada 2003 menunjukkan bahwa cuaca mungkin penting untuk penyebaran virus corona.

Sementara virus ini tidak beredar cukup lama untuk membentuk pola musiman potensial, cuaca harian dikaitkan dengan jumlah kasus.

Baca Juga: Jangan Buang Air Bekas Rebusan Mi Instan, Ternyata Banyak Manfaatnya

Di Hong Kong, kasus baru 18 kali lebih tinggi pada suhu yang lebih rendah — di bawah 24,6°C, 76°F — daripada suhu yang lebih tinggi.

Dengan fakta-fakta tersebut banyak bertanya-tanya dan membuat para hali penasaran mencari jawabannya.

Untuk diketahui, melansir Medical News Today, dalam artikel 'How does weather affect COVID-19?', disebutkan tinjauan baru-baru ini tentang infeksi pernapasan musiman menggambarkan bagaimana cuaca musim dingin yang dingin dan kering membuat kita lebih rentan terhadap virus secara umum.

Penyebabnya menurut ahli, dalam kondisi ini, lapisan lendir di hidung kita mengering, yang pada gilirannya merusak fungsi silia, rambut-rambut kecil yang melapisi saluran hidung.

Karenanya rambut-rambut tersebut lebih jarang bergerak. Jika ini terjadi otomatik gagal membersihkan virus dari hidung.

Nah dari sini diketahui, kelembaban relatif 40-60% mungkin ideal untuk kesehatan pernapasan.

Baca Juga: BUMN Kimia Farma Resmi Turunkan Harga Tes PCR Covid-19, Sekarang Jadi 500 Ribu Rupiah

Mengenai hal ini jika kita meluhat orang Amerika, mereka menghabiskan 87% waktu di dalam ruangan, jadi bagaimana cuaca luar sangat memengaruhi mereka? Saat udara dingin dan kering bertemu dengan udara hangat dari dalam ruangan, ini mengurangi kelembapan udara di dalam hingga 20%.

Selama musim dingin, tingkat kelembaban dalam ruangan adalah 10-40%, dibandingkan dengan 40-60% pada musim gugur dan musim semi.

Kelembaban yang lebih rendah membantu penyebaran aerosol virus dan dapat membuat virus lebih stabil.

Kelembaban Udara

Studi laboratorium dan observasi kasus pasien COVID-19 menunjukkan dampak kelembaban terhadap virus SARS-CoV-2.

Aerosol SARS-CoV-2 yang dihasilkan laboratorium stabil pada kelembaban relatif 53% pada suhu kamar, 23°C, 73°F.

Di sini virus tidak banyak mengalami degenerasi bahkan setelah 16 jam dan lebih kuat daripada MERS dan SARS-CoV.

Ini membantu menjelaskan tingkat infektivitas udara yang lebih tinggi.

Penting diketahui, studi laboratorium tidak selalu memprediksi bagaimana virus akan berperilaku di dunia nyata.

Baca Juga: PPKM Diperpanjang Lagi, Menko Luhut; Selama Covid-19 Masih Jadi Pandemi PPKM Tetap Digunakan

Namun, sebuah penelitian terhadap 17 kota di China dengan lebih dari 50 kasus COVID-19 menemukan hubungan antara kenaikan kelembaban dan penurunan kasus COVID-19.

Tim mengukur kelembaban sebagai kelembaban absolut, atau jumlah total air di udara. Untuk setiap gram per meter kubik (1 g/m3) peningkatan kelembaban absolut, ada penurunan 67% dalam kasus COVID-19 setelah jeda 14 hari antara peningkatan kelembaban dan jumlah kasus.

Para ahli melaporkan hubungan serupa antara jumlah kasus dan kelembaban di Australia, Spanyol, dan untuk kasus dan kematian di Timur Tengah.

Penting diketahui juga:

* Wuhan, Cina * Tokyo, Jepang * Daegu, Korea Selatan * Qom, Iran * Milan, Italia

Baca Juga: Evaluasi PPKM Jawa Bali yang Berkahir Hari ini, Jokowi; Pandemi Mengajarkan Kesehatan Adalah Agenda Bersama

* Paris, Prancis * Seattle, AS * Madrid, Spanyol

Kota-kota ini dibandingkan dengan 42 kota lain di seluruh dunia dengan penyebaran COVID-19 yang rendah.

Kedelapan kota pertama terletak di jalur sempit antara garis lintang 30°LU dan 50°LU.

Selain itu, antara Januari dan Maret 2020, kota-kota yang terkena dampak memiliki suhu rata-rata rendah 5–11°C, 41–52°F, dan kelembapan absolut rendah 4–7 g/m3.

Karenanya Hilary Guite, FFPH, MRCGP di Medical News Today menyimpulkan hal tersebut, seperti berikut ini:

* Studi influenza menunjukkan daerah tropis di mana curah hujan mendorong kelembaban memiliki transmisi yang lebih tinggi dalam kondisi hujan lembab.

* Peneliti Amerika menetapkan ambang batas 18–21°C (64–70 °F) dan kelembaban spesifik di bawah 11–12 g/kg, kira-kira setara dengan 13–14 g/m3, untuk meningkatkan transmisi musim dingin.

Baca Juga: Jokowi Umumkan Masalah PPKM: 'Harus Dilakukan Paling Lama Setiap Minggu', PPKM Diperpanjang Lagi?

* Negara-negara tropis dengan tingkat suhu dan kelembaban di atas ini memiliki penularan influenza yang lebih tinggi ketika curah hujan tinggi, yang didefinisikan lebih dari 150 mm per bulan.

* Peneliti Brasil melihat curah hujan di seluruh dunia, dan mengkonfirmasi kasus COVID-19 juga meningkat dengan curah hujan yang lebih besar.

Untuk setiap inci rata-rata per hari hujan, terjadi peningkatan 56 kasus COVID-19 per hari. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara curah hujan dan kematian akibat COVID-19.(*)

Baca Juga: Gelar Lomba Berhadiah Hingga Upacara Bendera, KG Media Gelar Festival 17-an se-Indonesia