Find Us On Social Media :

Jangan Hanya Fokus pada Nyamuk Belang, Nyamuk Culex Bisa Sebabkan Infeksi Japanese Encephalitis, Radang Otak

Inilah nyamuk Culex penyenab penyakit Japanese Encephalitis, radang otak yang tidak ada obatnya.

GridHEALTH.id - Di saat tenaga kesehatan dan perhatian masyarakat juga pemerintah fokus pada Covid-19, saat ini kembali muncul penyakit musiman, demam beraarah.

Rumah sakit kini sudah mulai banyak menerima pasien yang terinfeksi demam berdarah.

Demam berdarah sendiri diakibatkan oleh nyamuk demam berdarah, aedes aegypti.

Nyamuk ini punya ciri khas, aktif di siang hari, bentuk fisiknya mempunyai warna belang ditubuhnya. Belangnya itu hitam putih.

Membahas soal nyamuk, kita jangan melulu fokus pada nyamuk belang satu ini yang bisa sebabkan demam berdarah.

Ada juga nyamuk lainnya yang berbahaya, bisa sebabkan penyakit mematikan, radang otak.

Nyamuk tersebut adalah Culex.

Nyamuk Culex sifatnya antrosoofilik yang tidak hanya menghisap darah binatang tapi juga darah manusia.

Baca Juga: Asal Usul Virus Corona Baru dan Pasien 01 Covid-19 Dunia, Diungkap Dr Peter Embarek dari WHO

Kkarena itulah melalui gigitan nyamuk dapat terjadi penularan penyakit Japanese Encephalitis (JE) dari hewan kepada manusia.

Namun, manusia merupakan dead-end host untuk JE, artinya manusia tidak menjadi sumber penyebaran virus JE.

JE adalah penyakit radang otak (Ensefalitis) yang disebabkan oleh virus JE.

Nyamuk Culex sendiri biasa ditemukan di sekitar rumah, di area persawahan, kolam atau selokan (daerah yang selalu digenangi air).

Sedangkan reservoarnya adalah babi, kuda dan beberapa spesies burung.

Japanese Encephalitis Tidak Ada Obatnya

Tanda dan gejala Ensefalitis, melansir Sehat Negeriku (1/4/2018) biasanya muncul antara 4-14 hari setelah gigitan nyamuk (masa inkubasi), dengan gejala utama berupa demam tinggi yang mendadak, perubahan status mental, gejala gastrointestinal, sakit kepala, disertai perubahan gradual gangguan bicara, berjalan, adanya gerakan involuntir ekstremitas ataupun disfungsi motorik lainnya.

Pada anak, gejala awal biasanya berupa demam, iritabilitas, muntah, diare, dan kejang.

Kejadian kejang terjadi pada 75% kasus anak. Sedangkan pada penderita dewasa, keluhan yang paling sering muncul adalah sakit kepala dan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

JE bisa menyebabkan kematian, angka kematian akibat JE berkisar antara 5 – 30%.

Baca Juga: Air Rebusan Daun Sirih Merah Membuat Gula Darah Tinggi Kandas

Angka kematian ini lebih tinggi pada anak, terutama anak berusia kurang dari 10 tahun.

Bilapun bertahan hidup, bisanya penderita seringkali mengalami gejala sisa (sekuele), antara lain gangguan sistem motorik (motorik halus, kelumpuhan, gerakan abnormal); gangguan perilaku (agresif, emosi tak terkontrol, gangguan perhatian, depresi); atau gangguan intelektual (retardasi); atau gangguan fungsi neurologi lain (gangguan ingatan/memori, epilepsi, kebutaan).

Sampai saat ini belum ada obat khusus untuk menyembuhkan penyakit ini.

Pasien hanya dapat dikurangi gejalanya (mencegah perburukan kasus).

Oleh karena itu, upaya pencegahan sangat penting. JE dapat dicegah dengan pemberian imunisasi dan menghindari gigitan nyamuk (vektor penular JE).

Pencegahan Japanese Encephalitis

Peningkatan penularan penyakit ini ditengarai disebabkan beberapa faktor risiko;

1) Peningkatan populasi nyamuk pada musim hujan;

2) Tidak adanya antibodi spesifik JE baik yang didapat secara alamiah maupun melalui imunisasi;

3) Tinggal di daerah endemik JE;

4) Perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan digigit oleh nyamuk misalnya tidur tanpa menggunakan kelambu.

Baca Juga: Sejarah Penyakit iInfeksi di Indonesia, Kerumunan Membuat Jutaan Orang di Jawa Meninggal Karena Flu Spanyol

Adapun intervensi yang paling utama dalam pencegahan dan pengendalian JE adalah pengendalian vektor baik secara kimiawi maupun non kimiawi, menjaga kebersihan lingkungan permukiman dan peternakan bebas dari habitat perkembangbiakan nyamuk penular JE, penguatan surveilans, dan imunisasi JE pada manusia di samping vaksinasi hewan (babi, kuda dan unggas).

Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah JE pada manusia.

Japanese Encephalitis di Indonesia

WHO (2012) menggambarkan bahwa negara-negara berisiko JE ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia antara lain Jepang, Korea, India, Srilanka, dan Indonesia serta sebagian northern territory di Australia.

Seperti di negara-negara lain, di Indonesia jumlah kasus JE didapatkan melalui surveilans Acute Encephalitis Syndrome (AES).

Seperti kita ketahui bahwa tanda klinis dari JE tidak dapat dibedakan dengan penyebab lain dari AES, sehingga konfirmasi laboratorium menjadi sangat penting.

Kasus JE adalah kasus AES yang telah dikonfirmasi positif dengan pemeriksaan laboratorium (IgM) positif.

Di Indonesia, pantauan infeksi JE pada kelompok masyarakat di berbagai wilayah dimulai dari penelitian yang dilakukan berbagai kelompok dan institusi sejak tahun 1972.

Dilanjutkan dengan surveilans berbasis masyarakat di Bali oleh Kemenkes (2001-2003).

Baca Juga: Setelah Divaksin Covid-19 Jangan Langsung Minum Obat, Ini Risikonya

Pada 2014 Kemenkes bekerja sama dengan WHO mengembangkan surveilans sentinel JE di Bali dan empat provinsi berisiko lainnya. 2016, surveilans sentinel JE dikembangkan sehingga menjadi 11 provinsi.

Data surveilans kasus JE di Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat sembilan provinsi yang melaporkan adanya kasus JE, diantaranya adalah Provinsi Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau.

Hasil surveilans sentinel 2016 di 11 provinsi menunjukkan bahwa terdapat 326 kasus AES dengan 43 kasus (13%) diantaranya positif JE.

Sebanyak 85% kasus JE di Indonesia terdapat pada kelompok usia ≤15 tahun dan 15% pada kelompok usia >15 tahun.

Kasus JE terbanyak terdapat di provinsi Bali.(*)

Baca Juga: Pengobatan Semakin Maju, Orangtua Anak dengan Diabetes Tipe 1 Tak Lagi Khawatir dengan Pelajaran di Sekolah, Studi