GridHEALTH.id - Setiap tahunnya pada tanggal 12-18 November dirayakan sebagai pekan kesadaran antibiotik internasional.
Peringatakan ini bertujuan untuk mengurangi dampak resistensi terhadap antimikroba.
Asal tahu saja, berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165%.
Peningkatan tajam ini membuat (AMR) masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik.
Kondisi ini diperparah dimana dimasa pandemi penggunaan antibiotik meningkat drastis dan seperti diobral.
Cegah Resistensi Antibiotik
Dalam menangani kejadian AMR, perlu dilakukan prinsip pendekatan One Health, yakni koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait (intersektoral).
Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit.
Nah, program pemerintah tersebut akan berhasil jika didukung oleh masyarakyat.
Baca Juga: Banyak Pikiran Bikin Badan Nyeri, Bubble Warp Bisa Membantu Mengatasi
Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan, yaitu dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter, sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.
Hal tersebut dipaparkan oleh Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH. selaku Koordinator INDOHUN dalam sambutannya pada webinar Tuntas Beri Tuntas Pakai: Urgensi Penerapan Kebijakan dalam Peresepan, Penjualan dan Konsumsi Antibiotik, Jakarta, 5 November 2021.
Pada acara Indonesia One Health University Network (INDOHUN) tersebut, yang bekerja sama dengan Pfizer Indonesia ini, hadir juga sebagai pembicara pertama Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021.
Dalam presentasinya mengatakan, untuk menghambat laju AMR, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.
Baca Juga: Healthy Move, Latihan Kardio Intensitas Rendah Menggunakan Trampolin Mini, Lutut Bebas Nyeri
Peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949 di mana disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan.
UU Obat keras tersebut menyatakan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak.
Disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat ‘Harus dengan resep dokter’ yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.
Saat ditanya oleh GridHEALTH.id mengenai banyaknya penggunaan antibiotik dimasa pandemi Covid-19, seolah-olah diobral, Prof Harry menyampikan jika hal ini bukan saja terjadi di Indonesia tapi diseluruh dunia. "Penggunananya sejak 2020 hingga 2021 bisa dari 27 persen hinga 100 persen."
Baca Juga: Khasiat Obatal Alami Daun Sirih Merah Dalam Menyembuh Luka Infeksi, Tak Kalah Dari Antibiotik
Pada sesi pembicara kedua, Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K), Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, mengatakan, di Indonesia, antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit mulai dari demam sampai nyeri sendi.
Di Indoensia, antibiotik dapat dibeli di apotek, toko obat, dan bahkan warung yang tersebar di seluruh Indonesia.
Masyarakat seringkali membeli obat di tempat-tempat ini sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan. Obat-obat ini seringkali dijual tanpa resep.
Masyarakat menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya.
Nah, hal inilah salah satu faktor yang membuat permintaan antibiotik sangat tinggi.
"Di sisi lain, antibotik dapat dibeli dengan mudah, sehingga dapat menjadi pemicu berkembangan Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia.”
Saat ditanya oleh GridHEALTH.id, penggunaan antibiotik serampangan dan secara pribadi bisa memengaruhi lingkungan, Prof Tri menjelaskan, antibiotik bisa memengaruhi lingkungan, dan bisa memengaruhi komunitas.
Intinya dari penjelasan beliau, Kalau kita menggunakan antibiotik secara pribadi dan tidak tepat efeknya tidak hanya kepada diri kita tetapi juga kepada masyarakat dan lingkungan hidup kita.
Sebagai ilustrasi, bila kita menggunakan antibiotik secara serampangan maka kita bisa mendorong terjadinya bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Bakteri tersebut bisa kita pindahkan ke orang lain atau kita pindahkan ke lingkungan sekitar kita.
Jika ini sudah terjadi dan semakin banyak, dikhawatirkan muncul pandemi baru karena AMR.(*)
Baca Juga: Keputihan Abnormal, Gejala Kanker Serviks yang Sering Tidak Disadari