Find Us On Social Media :

Warga Jakarta Waspada, Telah Terjadi Peningkatan Suhu Udara yang Harusnya Terjadi pada 2030

Peningkatan suhu ekstrem di Jakarta.

GridHEALTH.id - Suhu Jakarta sudah mengalami peningkatan ekstrem.

Tidak hanya suhu politik yang kian memanas, suhu udara pun sudah mulai meningkat hingga 1,5 derejat celcius.

Peningkatan suhu udara sebanyak itu seharusnya terjadi pada 2030!

Kabar menyedihkannya lagi, pada 2025 diprediksi es abadi di puncak Jaywijaya Papua hanya tinggal kenangan dan sejarah.

Itu semua karena pemanasan global, sehingga membuat peningkatan suhu udara ekstrim.

Hal tersebut diketahui saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI di Gedung Parlemen Senayan Jakarta pada Senin (21/3/2022).

"Jakarta dalam periode 100 tahun suhu udara sudah meningkat 1,5 derajat celsius, padahal seharusnya kenaikan suhu sebesar itu terjadi pada 2030," ujar Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), saat memberikan penjelasan.

Dirinya lebih jauh menjelaskan, suhu udara di Jakarta meningkat 1,5 derajat Celcius dalam waktu 100 tahun terakhir.

Padahal seharusnya suhu udara saat ini terjadi pada 2030 nanti.

Baca Juga: Ternyata Karena Ini Wanita Tetap Hamil Meski Sudah Gunakan Kontrasepsi

"Jakarta dalam periode 100 tahun suhu udara sudah meningkat 1,5 derajat Celsius, padahal seharusnya kenaikan suhu sebesar itu terjadi pada 2030," kata Dwikorita Karnawati, yang membuat banyak hadirin kaget.

Selain suhu udara, intensitas hujan akibat cuaca ekstrem di Jakarta juga diprediksi akan terus meningkat.

"Hujan ekstrem meningkat di beberapa wilayah, di DKI 2020 mencapai 377 mm per hari, di DIY di 2017 mencapai 364 mm dalam satu hari. Dan di Kalimantan Selatan mencapai 270 mm," tutur Dwikorita Karnawati.

Banjir dan Hilangnya Es di Puncak Jayawijaya

Banjir yang disebabkan curah hujan tinggi ini juga disebutkan BMKG semakin bertambah kandungan asam PH dalam air hujannya.

"Banjir di Jakarta, menunjukkan data frekuensi banjir meningkat pada dekade terakhir bersamaan dengan curah hujan ekstrem. Hujan yang terjadi 700 tahunan menjadi hujan 100 tahunan atau ada peningkatan 7 kali lipat. Air hujan yang turun juga semakin asam PH-nya," papar Dwikorita Karnawati.

Lebih mengenaskan lagi, Dwikorita Karnawati mengatakan, pihaknya memprediksi bahwa es yang berada di Puncak Jayawijaya, Papua akan punah pada 2025.

Hal tersebut disampaikannya setelah mengungkap penelitian BMKG bahwa terjadi penyusutan gunung es di Puncak Jaya.

"Penyusutan gunung es puncak Jayawijaya yang diteliti oleh BMKG, diprediksi tahun 2025 es itu sudah punah, sudah tidak ada di Puncak Jaya Wijaya lagi," kata Dwikorita dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi V DPR, Senin (21/3/2022).

Baca Juga: Waspada Long Covid Pada Anak, Ini 5 Gejala yang Paling Sering Muncul

Menurut penelitian BMKG, saat ini hanya tersisa 1 persen area es di puncak Jayawijaya, Papua.

"Dan saat ini kondisinya tinggal 1 persen area es di Puncak Jaya dari 200 kilometer persegi, sekarang tinggal 2 kilometer persegi," jelasnya.

Dampak Perubahan Iklim Ekstrem Pada Kesehatan Manusia

Kejadian-kejadian yang dipaparkan Dwikorita sungguh memprihatinkan.

Bagaimana tidak, nanti yang rugi dan akan menanggung akibatnya adalah makhluk hidup, khususnya manusia.

Ketahuilah, terlalu tingginya curah hujan akan mengakibatkan menurunnya kualitas sumber air.

Selain itu, kenaikan suhu juga mengakibatkan kadar klorin pada air bersih.

Pemanasan global akan meningkatkan jumlah air pada atmosfer, yang kemudian meningkatkan curah hujan.

Meski kenaikkan curah hujan sebetulnya dapat meningkatkan jumlah sumber air bersih, namun curah hujan yang terlalu tinggi mengakibatkan tingginya kemungkinan air untuk langsung kembali ke laut, tanpa sempat tersimpan dalam sumber air bersih untuk digunakan manusia.

Baca Juga: Jangan Terkecoh, 4 Metode Pembesaran Organ Intim Pria Ini Belum Teruji

Melansir http://ditjenppi.menlhk.go.id, di Indonesia yang beriklim tropis ini pada musim kemarau berkepanjangan adalah kondisi yang sangat baik bagi perkembangan bakteri, virus, jamur dan parasit karena kelembaban udara pada musim kemarau cukup tinggi.

Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut tumbuh dengan sangat subur dan dapat bertahan hidup lebih lama.

Kondisi ini menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan bakteri dan udara semakin banyak terjadi seperti penyakit kulit akibat jamur.

Selain itu, udara yang hangat adalah pertanda bagi bunga untuk melakukan penyerbukan. Umumnya, orang alergi dengan benda-benda kecil seperti serbuk bunga. Sehingga, kondisi ini menyebabkan peningkatan penyakit akibat alergi meningkat.

Perubahan Iklim juga menyebabkan cuaca ekstrim dan sulit ditebak. Di satu wilayah, bisa saja terjadi hujan terus-menerus yang disertai dengan angin kencang dan menyebabkan banjir.

Sementara di wilayah lain terjadi kemarau berkepanjangan hingga mengeringkan sawah, ladang dan sumber-sumber air masyarakat. Belum lagi suhu ekstrim yang disebabkan terik matahari dapat membakar kulit.

Cuaca ekstrim seperti hujan kencang yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan banjir jika daratan tidak siap menampung limpahan air yang banyak.

Kondisi banjir menyebabkan lingkungan kotor dan menjadi lingkungan yang sangat baik bagi sarangga dan nyamuk penyebar penyakit untuk hidup dan bereproduksi.

Dengan kondisi seperti ini, kasus penyakit seperti malaria dan demam berdarah dengue akan sangat banyak, sampai pada titik endemik.

Baca Juga: The Happiness Project, Pentingnya Memahami Arti Bahagia Sejak Dini

Sementara kondisi ekstrim lingkungan mempengaruhi daya tubuh manusia sehingga mudah sekali menjadi sakit.

Sedangkan kemarau, akibat peningkatan suhu bumi terus-menerus dapat menyebabkan kebakaran semak dan hutan.

Asap yang dihasilkan dari kebakaran sejam dan hutan mencemari udara yang juga berdampak pada kesehatan pernapasan manusia.

Dalam kondisi tersebut akan sering ditemukan kasus-kasus seperti Infeksi Pernapasan.

Jaga bumi kita sekarang juga!(*)

Baca Juga: Perhatikan 6 Ciri Alergi Kosmetik di Wajah dan Cara Mengatasinya