Untuk itu GA van de Mol, konsultan pertanian untuk urusan pendidikan, menyusun buku Gezonde Voeding (Makanan Sehat) sebagai buku ajar pendidikan rumah tangga di Hindia Belanda pada 1937.
Van de Mol menyarankan agar orang-orang Eropa menerima makanan “pribumi” yang didominasi sayuran dan buah-buahan daripada daging.“Di sini, kedelai dan olahannya (susu, kecap, oncom, dan tempe) menjadi bahan pilihan pokok primadona untuk diasup pada masa sulit,” tulis Fadly.
Tokoh pergerakan perempuan bumiputra, Ch. Sj. Dt. Toemenggoeng atau Chailan Sjamsu, juga menulis Boekoe Masak-Masakan pada 1940.
Lewat buku ini dia mendorong pembaca untuk memanfaatkan bahan-bahan makanan lokal seperti ketela, kedelai, jagung, dan sagu.Lembaga Makanan Rakyat (Instituut voor Volksvoeding) yang berdiri pada 1937 juga memprakarsai penerbitan buku Makanan jang Baik Dimasa Perang (1940), Makanan jang Moerah tetapi Baik (1941), dan Masak-Masakan Moerah (1941).“Maksud penerbitan buku pedoman itu untuk membentuk rumah tangga sebagai garda terdepan dalam menanamkan pengetahuan mengolah makanan yang murah atau sederhana tapi baik pada masa-masa sulit,” tulis Fadly.
Saat Jepang menjajah, kekurangan pangan kian akut, hidup menjadi lebih sulit lagi.Pada masa pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi hasil panen. Mereka menderita kemiskinan kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon. Kelaparan pun melanda.Untuk menutupi kekurangan beras, masyarakat memakan jagung, singkong atau tiwul, kedelai, bahkan bonggol pisang.
Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio, Jepang, sebagai sumber protein, bekicot jadi pilihan.
Baca Juga: Perkembangan Motorik dan Kognitif Anak Dapat Dimaksimalkan Melalui Periode Winning Window
Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.Pemerintah pendudukan Jepang sendiri mendorong masyarakat mengkonsumsi sumber pangan alternatif selain beras.
Mereka juga memperkenalkan resep-resep baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko dalam Mobilisasi dan Kontrol.Salah satu menu populer ialah apa yang disebut Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya.
Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu baru ini.“Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200 gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran. Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok, santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,” tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.(*)
Baca Juga: Anak Demam Setelah Imunisasi, Kapan Harus Periksa ke Dokter?