Find Us On Social Media :

BPOM Diminta Transparan Prihal Etilen Glikol pada Galon Air Minum PET Sekali Pakai

Galon sekali pakai (PRT) mengandung etilen glikol.

GridHEALTH.id - Salah satu berita kesehatan yang tengah menjadi fokus perhatian masyarakat selain Covid-19 saat ini adalah zat kimia berbahaya etilen glikol (EG).

Bagaimana tidak, Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril menyampaikan, jumlah kasus gagal ginjal akut progresif atipikal mencapai 269 kasus per tanggal 26 Oktober 2022.Terdapat peningkatan dari total 245 kasus yang dilaporkan Kemenkes pada Minggu (23/10/2022).Sementara itu, angka kematiannya juga meningkat, yakni mencapai 157 anak. Sebelumnya, dilaporkan mencapai 143 anak.“Tercatat yang meninggal total ada 157 yang meninggal atau 58 persen dari 269, yang sedang dirawat 73 dan 39 sudah sembuh,” kata Syahril dalam Press Conference daring “Perkembangan Gangguan Ginjal Akut di Indonesia”, Kamis (27/10/2022).

Baca Juga: Kesehatan Terganggu Akibat Polusi, Cegah dengan 5 Makanan Berikut

Syahril mengatakan, 269 kasus gagal ginjal akut tersebut ditemukan di 27 provinsi.Prihal etilen glikol (EG), tentu masih ingat tentang kebijakan BPOM mengenai BPA.

Banyak juga yang penasaran prihal BPOM yang berupaya untuk mengeluarkan kebijakan pelabelan zat kimia Bisphenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan polikarbonat.

Sedangkan untuk Kemasan Plastik polyethylene terephthalate (PET) tidak dilabeli ‘Berpotensi Mengandung Etilen Glikol’.

Untuk diketahui, peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019 menyebutkan tentang risiko bahaya zat kimia dalam kemasan, dan untuk kemasan plastik PET seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai potensi zat berbahaya yang dikandungnya adalah Etilen Glikol dan Dietilen Glikol.

Baca Juga: 7 Cara Mengatasi Kulit Kering dan Gatal, Simak Juga Penyebabnya

Kedua zat inilah yang ditemukan dalam sirup obat batuk dan menyebabkan gagal ginjal akut pada 245 anak Indonesia.Mengenai hal tersebut beberapa pengamat kebijakan melihat preferensi BPOM melakukan rencana pelabelan BPA ini menunjukkan sebuah kebijakan lucu.

“Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan dimana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelola BPOM, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” kata pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah di Jakarta, Jumat (21/10/2022).Sedangkan alasan BPOM ingin menyematkan label BPA dalam galon isi ulang lantaran diyakini dapat menyebabkan infertilitas, gangguan kesehatan pada janin, anak dan ibu hamil.

Namun, BPOM belum melakukan penelitian spesifik terkait dampak tersebut.

Baca Juga: Sering Merasa Lelah? Jangan Anggap Remeh, Ternyata Jadi Salah Satu Penyebab Terjadinya Penyakit Serius ini

Pelabelan itu didorong dengan hanya mengacu pada survei BPOM terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran. BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri. Artinya, tanpa melakukan penelitian khusus.

Trubus mengkritik, prihal keberadaan etilen glikol dalam air galon kemasan polyethylene terephthalate (PET) atau galon sekali pakai berbahan PET, BPOM hingga saat ini masih bungkam terkait hal tersebut.

Fakta BPA VS PETInternational Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari WHO belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia.

Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti yang ada pada galon sekali pakai, justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia.

Baca Juga: Pantas Saja Tetap Awet Muda Meski Sudah Berumur, Inilah Rahasia Kecantikan Wulan Guritno yang Bisa Dilakukan Para Wanita Setiap Pagi Hari

“Hingga sekarang, IARC, badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” kata Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Dr. Nugraha E. Suyatma, STP, DEA, baru-baru ini.Seperti diketahui, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam 4 grup.

Kelompok 1, karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik untuk manusia.“Jadi, dari sini juga FDA (The United States Food and Drug Administration) mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus. Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat. Yakni, bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free,” ungkapnya.Begitu juga dengan Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), pembatasan untuk memperketat migrasi BPA ini juga belum ditetapkan hingga kini. “Bisa jadi mereka juga belum yakin,” katanya.Dia juga mencontohkan kemasan PET yang juga ada risiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif.

“Di PET ada kandungan asetaldehid, etilen glikol, antimon dan lain-lain yang juga berbahaya,” ucapnya.Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Prof. apt Muchtaridi, menjelaskan etilen glikol mengalami oksidasi oleh enzim. Menurutnya, ketika masuk ke dalam tubuh, senyawa ini mengalami oksidasi oleh enzim menjadi glikol aldehid, kemudian kembali dioksidasi menjadi asam glikol oksalat membentuk lagi asam oksalat. “

Asam oksalat inilah yang membentuk batu ginjal,” ungkapnya seperti dikutip dari laman unpad.ac.id.Dia menjelaskan asam oksalat jika sudah mengkristal akan berbentuk seperti jarum tajam.

“Asam oksalat kelarutannya kecil, kalau ketemu kalsium akan terbentuk garam yang sukar larut dalam air dan larinya akan ke organ seperti empedu dan ginjal. Jika lari ke ginjal, kristalnya tajam dan akan mencederai ginjal,” tuturnya.

Baca Juga: Healthy Move, Melawan Mitos, Ternyata Olahraga Lompat Tali Aman Dilakukan Wanita Usia Menopause

Jika kondisi ini terjadi pada anak-anak yang memiliki ukuran ginjal lebih kecil, dampak yang ditimbulkan akan menjadi parah.

Tidak hanya memapar di ginjal, efeknya juga bisa lari ke jantung dan juga memicu kematian yang cepat.Nah, melihat kenyataan ini, Komnas Anak dan Anggota Komisi IX DPR RI pun mendesak untuk BPOM juga melakukan penelitian terhadap kemasan pangan berbahan etilen glikol ini.Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait, bahkan meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan berpotensi mengandung etilen glikol terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol.

“Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung etilen glikol dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujarnya.Karenanya, lanjut Arist, meski di Indonesia belum ditemukan sirup obat batuk seperti yang digunakan di Afrika, kandungan etilen glikol itu ada juga di salah satu produk air minum dalam kemasan.

“Karena itu, saya kira BPOM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung etilen glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.Menurutnya, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi agar masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu.“Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung etilen glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” tukasnya.Arist menegaskan Komnas Anak sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal.

Dia mengatakan  Komnas Anak sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal.

Baca Juga: Healthy Move, Melawan Mitos, Ternyata Olahraga Lompat Tali Aman Dilakukan Wanita Usia Menopause

Pernyataan serupa disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo.

Dia juga meminta BPOM untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang mengandung bahan etilen glikol.“Terhadap kemasan pangan yang mengandung etilen glikol, karena itu bisa menyebabkan bahaya kesehatan pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar etilen glikol di dalam produknya,” ujarnya.Menurutnya, penelitian terhadap kemasan pangan yang mengandung etilen glikol ini sangat diperlukan meskipun sudah diberikan izin edar mengingat terus berkembangnya ilmu pengetahuan. 

“Data-data empiris harus dilakukan termasuk penyebab anak-anak kita yang tengah mengalami gangguan penyakit ginjal akut. Jadi, saya kira hal-hal yang menyangkut itu tidak salah BPOM melakukan satu kajian yang melibatkan peneliti dari universitas yang sangat berkompeten,” tukasnya.(*)

Baca Juga: Selama ini Dikira hanya Penyakit Orang Tua Saja, Osteoporosis Juga Bisa Mengancam Tumbuh Kembang Tulang Pada Anak

 

Sebagian artikel ini sudah publish di Kontan.co.id, dengan judul; BPOM Harus Transparan, Yang Menyebabkan Kematian Etilen Glikol Bukan BPA