Find Us On Social Media :

Influencer Gitasav Jadikan Stunting Sebagai Ejekan, Ini Akibatnya Salah Memaknai Stunting

Picu kecaman, Gitasav sempat jadikan stunting sebagai ejekan, ini tanggapan dokter dan psikolog terkait bahayanya pemaknaan stunting yang salah.

GridHEALTH.id – Beberapa waktu lalu, seorang influencer yang akrab disapa dengan nama Gitasav menuai pro dan kontra dari publik, setelah dirinya membalas komentar netizen dengan kata-kata stunting, seolah menjadikan kata stunting sebagai ejekan kepada orang lain.

Di sisi lain, stunting masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini di Indonesia, bahkan penelitian menyebutkan bahwa pemahaman stunting di masyarakat masih kurang tepat.

Lalu, bagaimana dampaknya dari salah memaknai stunting, hingga menjadikannya sebagai bahan ledekan? Simak ulasannya berikut ini.

Kontroversi Gitasav, Influencer yang Jadikan Stunting Sebagai Ejekan

Sebelumnya, Gitasav sempat berdebat dengan netizen di akun sosial media miliknya, kemudian Gitasav membawa-bawa istilah stunting untuk membalas komentar netizen, dengan menyindir netizen tersebut terkena stunting.

Dalam akun @gitasav, dirinya menuliskan, “Gue udah bacot-bacot, point yang lo bisa dapet adalah 'Gita emang merasa paling bener' ya sis? Dulu lo stunting kali, ya, makanya agak lamban.”

Tanggapan Dokter dan Psikolog

Saat ditemui langsung beberapa waktu yang lalu, Dr. dr. Ray Wagiu Baswori, MKK selaku ketua Health Collaborative Center (HCC) menanggapi situasi tersebut, ia mengatakan bahwa salah satu yang dipelajari oleh tim peneliti adalah pengaruh sosial media yang tidak dapat dikesampingkan, “yang kita bisa pelajari sejak awal pandemi, banyak perilaku kesehatan masyarakat yang salah dipengaruhi oleh influencer dan itu sudah ada studinya.”

Dokter Ray juga menyebutkan bahwa dampak lebih jauh akan membuat masyarakat terus menerus mendapatkan informasi kesehatan yang tidak tepat, “Yang harus diperhatikan itu dampaknya false information, terutama pada kesehatan itu dampaknya luar biasa. Contohnya, sekali kita mendengar tentang hoaks, maka sosmed kita akan terus-terusan memberikan informasi hoaks. Itu bahaya.”

Selain itu, seorang Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani Mengatakan ada banyak hal yang perlu dilihat sebelum menjustifikasi seseorang stunting atau tidak.

“Enggak semua, karena stunting itu banyak faktor lain, kalau dari sisi psikologi sosial, faktor-faktornya banyak. Gizi utama saat di kandungan, tapi bagaimana kita mendidik anak, gimana sosialisasi anak, gimana penanaman nilai itu penting,” jelas Endang dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, tidak ada orang yang bodoh karena semua orang memiliki kelebihan yang lain, “Kita enggak bisa bilang ‘oh anaknya bodoh ini itu’ itu sangat relative, karena enggak ada anak yang bodoh sebetulnya. Lalu tolak ukurnya seperti apa, misalnya IQ, belum tentu IQ satu-satunya menentukan bahwa dia pintar gitu atau bodoh gitu.

Mungkin dia punya kelebihan lain. Kayak, oke dari sisi akademis dia enggak pintar, tapi dari sisi lain, seni, nulis, dia punya kelebihan atau yang lain. Jadi enggak bisa kita generalisir bahwa itu ketidakmampuan seseorang untuk mencapai sesuatu kriteria tertentu hanya karena stunting. Mudah-mudahan stereotipe ini bisa diubah.”

Baca Juga: 6 Kesalahan Dalam Pemaknaan Stunting di Masyarakat, Akankah Indonesia Capai Target Prevalensi 14 Persen di 2024?

Kondisi Stunting di Indonesia

Stunting masih menjadi masalah di Indonesia, pemerintah pun telah menetapkan target untuk menurunkan angka stunting hingga 14% pada tahun 2024, dengan anggaran yang telah disiapkan sebesar 44,8 triliun pada tahun 2022 lalu.

Namun sayangnya berdasarkan hasil penelitian dari HCC, ditemukan dari responden yang masih salah dalam memaknai stunting, seperti:

- 50% responden tidak percaya/tidak setuju bahwa stunting bisa menghambat kognitif anak

- 39% responden tidak setuju bahwa risiko dan penyebab stunting karena faktor kurang nutrisi dari makanan

- 58% responden tidak yakin bahwa anak risiko stunting berhubungan dengan pola asuh

- 47% responden beranggapan risiko terkena stunting bukan karena ketidakmampuan membeli pangan bergizi

- 35% responden beranggapan stunting bukan penyakit atau kondisi medis yang serius

- 16% responden tidak yakin bahwa stunting bisa berpengaruh buruk bagi kondisi keluarga secara keseluruhan

Bahaya dari Salah Memaknai Stunting

Dalam konsep pemaknaan kesehatan yang disampaikan oleh WHO, disebutkan pemaknaan terkait kesehatan suatu masyarakat, hampir 100% menentukan kesehatan komunitas atau suatu bangsa.

Lebih jauh dari itu, pernyataan dari Janz & Becker (1984) mengatakan, perilaku dan luaran sehat ditentukan oleh keperceyaan individu terhadap makna kesehatan.

Dengan kata lain, pemaknaan terhadap segala sesuatu terkait kesehatan akan sangat menentukan masyarakat bersikap dan tingkat keberhasilan suatu komunitas atau negara memiliki tingkat kesehatan yang tinggi.

Baca Juga: Literasi Gizi Rendah, Faktor Masih Tingginya Anak Indikasi Stunting

Sama halnya, dengan stunting, saat pemaknaan stunting ini menjadi salah, maka dikhawatirkan dalam penelitian HCC disebutkan memicu kondisi kesehatan yang semakin buruk, seperti:

- Kepercayaan bahwa kondisi ini pasti faktor keturunan

- Beranggapan bahwa kondisi ini tidak berhubungan dengan kelahiran prematur

Selain dua hal ini, terkait kesalahan dalam pemaknaan stunting, temuan lain dari HCC menyebutkan ada beberapa hal yang dipercaya oleh masyarakat tidak sejalan dengan teori atau salah kaprah, seperti:

- Tidak dapat menghambat perkembangan otak, padahal secara teori dikatakan stunting dapat menghambat perkembangan otak

- Bukan karena kurang gizi, secara teori disebut akibat malnutrisi kronis dan menjadi kondisi medis kronis

- Tidak ada hubungan dengan kesulitan membeli dan mengakses makanan bergizi, teori mengatakan keterjangkauan pangan bergizi sangat mempengaruhi kondisi ini

- Bukan karena kesalahan atau kelemahan pola asuh, nyatanya teori menyebut kondisi ini berkaitan dengan parenting

- Tidak dipengaruhi oleh aspek sosio-ekonomi keluarga, teori menyebutkan kondisi ini sangat berkaitan dengan ketahanan keluarga

Dengan ditemukannya hasil penelitian ini, maka tidak cukup sampai masyarakat percaya bahwa stunting benar-benar terjadi di Indonesia dan berbahaya, namun saat pemaknaan stunting menjadi salah, maka akan membawa dampak buruk pada kualitas sumberdaya manusia.  

Meski dampak utama stunting adalah gangguan kognitif, namun menjadikan stunting sebagai ejekan dan terkesan buruk sepertinya perlu dihindari, karena hanya akan membuat permasalahan terkait stunting semakin sulit diselesaikan. (*)

Baca Juga: Indonesia Turunkan Angka Stunting Hingga 3 Persen di 2022, Mampukah? Ini Upaya yang Ditempuh