GridHEALTH.id - Organisasi profesi kembali melalukan aksi damai di depan gedung DPR RI, Selasa (11/7/2023).
Aksi ini dilakukan terkait dengan rencana pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Kesehatan (RUU Kesehatan) pada rapat paripurna hari ini, pukul 12.30 WIB.
Aksi penyampaian pendapat kali ini dikoordinasi oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Anggota PPNI dari berbagai daerah di Indonesia, mulai DKI Jakarta hingga Lampung, menghadiri aksi damai ini.
Selain itu, organisasi profesi lain yang diketahui sejak awal kontra dengan RUU Kesehatan, seperti Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI),
Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia(PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) juga turut hadir.
Tak hanya itu, aksi ini juga didukung oleh perwakilan mahasiswa Indonesia.
Orasi yang Disampaikan dalam Aksi Damai
Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah menyampaikan beberapa poin dari aksi yang dilakukan hari ini.
"Aksi kali ini adalah bagian perjuangan tiada henti dari profesi kesehatan khususnya perawat. Agenda hari ini dimotori oleh PPNI sebagai wadah profesi perawat Indonesia," ujarnya saat ditemui di depan gedung DPR RI.
"Kita terus melakukan perjuangan dan menyuarakan aspirasi kami kepada pemerintah khusunya DPR, yang menurut agenda hari ada paripurna pembahasan tingkat 2 RUU Kesehatan dan mungkin saja ada pengesahan," sambungnya.
Lebih lanjut, Harif mengatakan, proses pembuatan Rancangan Undang-undang Kesehatan ini dibuat seperti sembunyi-sembunyi.
Faktanya, hingga hari ini organisasi profesi kesehatan tidak mendapatkan akses draft RUU yang sedang dibahas.
"Kami tenaga kesehatan khususnya perawat 60% dari seluruh jumlah tenaga kesehatan ini adalah stakeholder yang penting, yang akan menjalankan undang-undang itu bila sudah jadi," katanya.
Ia melanjutkan, "Maka kita adalah stakeholder yang meaningful, maka kita ingin ada partisipasi. Dalam berbagai kesempatan kita, kita melakukan loby, advokasi, dan audiensi dan sebagainya terhadap aspirasi kita ini, tapi belum ada diterima aspirasi kita itu."
Adapun beberapa hal yang disoroti dalam aksi penolakan RUU Kesehatan ini adalah dihapusnya mandatory spending, sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD.
Hal itu menurut Harif akan sangat merugikan bagi perawat yang lebih dari 80 ribu berstatus tenaga honorer dan sukarelawan.
"Apa jadinya kalau mandatory spending dihilangkan, saya rasa akan makin parah tidak ada kejelasan bagaimana mereka akan dibayar, sementara mereka sudah mengabdi selama puluhan tahun pada fasilitas kesehatan milik pemerintah," ungkapnya.
Perawat pun juga berpotensi untuk diberhentikan dan ini tentunya akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan.
Dengan adanya RUU Kesehatan ini, juga dinilai akan menghapus jaminan hukum yang sudah ada di Undang-udang Pasal 38 tahun 2014 dan tidak ada pengganti terkait hal tersebut.
"Ini menurunkan kepastian hukum dalam pengembangan profesi, perlindungan profesi perawat," jelas Harif.
Terakhir, RUU Kesehatan substansinya dinilai akan memudahkan tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia.
Sementara di Tanah Air sendiri, lulusan perawat setiap tahunnya mencapai 5.000 orang dan dengan masuknya nakes asing, maka peluang kerja pun akan berkurang.
"Mau kemana ini, jangankan membuka peluang kerja, justru mengancam ruang-ruang kerja perawat yang ada di dalam," katanya.
Alih-alih mau dikirim ke luar negeri, tapi tidak ada upaya pemerintah untuk memberdayakan, memberikan intensif, membantu kawan-kawan yang bekerja di luar negeri itu tidak ada. artinya undang-undang ini sama saja tidak ada yang lebih baik. oleh karena itu, kami tolak," pungkasnya. (*)
Baca Juga: Bila RUU Kesehatan Disahkan, Bagaimana Nasib Organisasi Profesi?