GridHEALTH.id - Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) menjadi perhatian kesehatan dunia.
Wajar isu ini mendapat perhatian lebih, karena resistensi antimikroba dapat menimbulkan efek yang fatal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 4,9 juta kematian setiap tahun terkait dengan AMR.
Studi Lancet pada 2022 menemukan, pada 2019 ada sebanyak 1,27 juta kematian, merupakan akibat langsung dari infeksi bakteri yang resistan terhadap obat.
Diperkirakan oleh PBB, pada 2050 nanti akan ada 10 juta kematian yang disebabkan oleh superbug dan bentuk resistensi antimikroba yang terkait.
Jumlah tersebut, setara dengan angka kematian global tahunan yang disebabkan oleh kanker.
Apa Penyebab Resistensi Antimikroba?
Dokter spesialis patologi dr. Muhammad Irhamsyah, SpPK., M.Kes., menjelaskan AMR adalah ketidakmampuan antimikroba (seperti antibiotik, anti jamur, atau antivirus) membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi.
"Jika mengalami kejadian AMR dari sisi Kesehatan akan menyebabkan angka tingkat kematian dan kesakitan pasien akibat infeksi menjadi meningkat," kata dokter Irhamsyah kepada GridHEALTH, Kamis (18/1/2024).
"Sehingga penanganan pasien dalam hal infeksi di rumah sakit menjadi kurang efektif dan kurang efisien," sambungnya.
Terjadinya resistensi antimikroba dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya kebiasaan pembelian obat antimikroba tanpa resep dokter.
Hal ini terjadi karena penggunaan antimikroba saat ini masih terbilang bebas dan kurang pengawasan.
Baca Juga: Waspada Bahaya Resistensi Antimikroba (AMR), Dijuluki Silent Pandemic
"Sehingga akibat yang dialami bukan hanya (pada) manusia, tapi juga hewan dan lingkungan," ujarnya.
Selain itu menurutnya, kurangnya kesadaran dan pengetahuan akan hal ini juga menjadi faktor yang memicu AMR.
"Saat ini yang sering kita lihat adalah masyarakat merasa mengetahui segala hal dengan mendapatkan informasi dari internet, media sosial, dari mulut ke mulut kerabat," kata dokter yang berpraktik di Primaya Hospital Bekasi Timur ini.
Padahal, mungkin saja informasi tersebut kurang tepat dan akhirnya menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai.
"Selain itu penggunaan air bersih dan sanitasi yang kurang, fasilitas-fasilitas penanganan yang kurang memadai. Inilah penyebab kewaspadaan pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholder di bidang kesehatan semakin meningkat terhadap kejadian AMR," paparnya.
Mencegah Terjadinya AMR
Dokter Irhamsyah menjelaskan, sejak 2015 pemerintah telah mengeluarkan Permenkes terkait pengendalian infeksi dan resistensi antimikroba.
Adanya Permenkes tersebut di latar belakangi meningkatnya kasus kematian dan kesakitan akibat infeksi yang disebabkan oleh AMR.
"Saat ini pun, kami sebagai petugas pelaksana pelayanan kesehatan selalu berkontribusi untuk penanganan dan pencegahan AMR sebagai bentuk dukungan untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat," katanya.
Untuk mencegah AMR, masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan tidak mudah menerima serta mempercayai informasi tentang penanganan infeksi.
"Hendaknya melakukan konsultasi langsung kepada ahlinya yaitu dokter, sehingga konsumsi antimikroba itu tepat guna dan bijak, serta tertangani dengan baik untuk menekan kejadian AMR," pungkasnya.
Antimcrobial resistance dapat disebabkan oleh banyak faktor. Untuk mencegahnya, penggunaan obat harus dilakukan secara bijak dan tepat. (*)