GridHEALTH.id - Masih adanya stigma bagi penyandang tuli, membuat kelompok ini rentan mengalami kejadian yang kurang menyenangkan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tuli merupakan gangguan pendengaran berat, yang berarti peyangdangnya memiliki kemampuan mendengar yang sangat sedikit atau tidak sama sekali.
Untuk memudahkan dalam berkomunikasi, kelompok tuli biasanya menggunakan bahasa isyarat.
Dilansir dari Health Direct, kondisi ini dapat terjadi sejak lahir atau secara perlahan seiring waktu.
Beberapa penyebabnya yakni pertumbuhan abnormal tulang kecil di telinga tengah, kerusakan koklea di telinga bagian dalam, masalah saraf, paparan suara keras, atau kondisi medis tertentu.
Kehilangan pendengaran juga bisa terjadi seiring berjalannya waktu, misalnya karena bekerja di lingkungan yang bising.
Hambatan dalam beraktivitas, mungkin dialami oleh orang dengan kondisi ini. Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengatakan, tak jarang kelompok tuli mengalami ketidakadilan.
"Laporan indeks Hak Asasi Manusia 2023 menunjukkan bahwa sejumlah variabel seperti Hak Sipil termasuk hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan kebebasan bereksperis ataupun berpendapat; serta Hak Sosial antara lain hak atas kesehatan dan pendidikan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya," ujarnya dalam peluncuran FeminisThemis Academy 2024, Rabu (29/5/2024).
"Tantangan ini secara nyata dirasakan teman-teman penyandang disabilitas, mereka kerap mengalami diskriminasi, ketidakadilan, hingga keterbatasan dalam berekspresi, mendapatkan akses informasi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya," sambungnya.
Contoh diskriminasi yang dialami salah satunya berkaitan dengan gender, terutama pada penyandang disabilitas perempuan.
Data dari Komnas Perempuan pada 2023, diketahui ada 105 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, 33 di antaranya dialami oleh penyandang tuli.
Baca Juga: Layanan Transportasi Inklusif Memudahkan Lansia Beraktivitas
Selain itu, Yayasan SAPDA melalui CATAHU Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas (KBGD) 2022 melaporkan 81 KBGD sepanjang tahun, di mana perempuan tuli adalah penyantas terbanyak.
Melihat situasi seperti ini, Nissi Taruli Felicia tergerak untuk mendirikan FeminisThemis dengan tujuan mencipatkan komunitas feminis yang inklusif dan edukatif bagi kelompok tuli.
Sehingga, perempuan dari kelompok ini mampu melawan ketidakadilan serta memperjuangkan kesetaraan gender.
Nissi mengungkapkan, tidak terpenuhinya hak Bahasa Isyarat, membuat komunikasi dan berekspresi, serta mengakses informasi jadi terbatas.
"Selain itu, mereka juga memiliki keterbatasan pengetahuan dan akses informasi, terutama yang bersifat pribadi seperti mengenai hak tubuh, hak kesehatan seksual, dan reproduksi," ujarnya.
Nissi menambahkan, "Yang tak kalah menantang, ada pula kecenderungan victim blaming di mana banyak masyarakat masih menyalahkan pihak penyintas saat mereka melaporkan kekerasan seksual sehingga membuat penyintas lainnya memilih diam."
FeminisThemis Academy hadir sebagai forum edukasi yang bertujuan meningkatkan literasi kesadaran diri dan kesetaraan gender untuk mencegah kekerasan yang kerap menimpa perempuan tuli.
Diselenggarakan untuk kedua kalinya, kali ini program tersebut didukung oleh Unilever Indonesia.
"Kolaborasi Unilever Indonesia dengan FeminisThemis berlandaskan pada misi bersama untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil, beragam, dan inklusif. Terlebih lagi, tujuan dari penyelenggaraan program 'FeminisThemis Academy' juga sangat sejalan dengan tiga fokus Equity, Diversity & Inclusion yang kami jalankan," kata Head of Communication Unilever Indonesia Kristy Nelwan.
"FeminisThemis Academy 2024" akan berlangsung selama Juni-September, yang ditutup pada Hari Bahasa Isyarat Internasional pada 23 September.
Programnya terdiri dari Training of Trainers untuk fasilitator Tuli, workshop offline di tiga kota (Bandung, Malang, dan Yogyakarta), serta rangkaian webinar. (*)