GridHEALTH.id - Kita tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput, seperti yang terjadi pada pelaut muda asal Enrekang, Sulawesi Selatan, Muh Alfatah yang meninggal kala berlayar.
Baca Juga: Hujan Lebat Tak Kunjung Reda, Sambutan Awal Tahun 2020 Beberapa Titik di Jakarta Terendam Banjir
Alfatah merupakan seorang pemuda berusia 20 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di SMK Pelayaran Barru, Sulsel.
Dia kemudian jadi pelaut dengan bertolak ke Tiongkok.
Melansir Tribun Timur, Alfatah dikabarkan mengalami sakit selama berlayar hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir di atas kapal tersebut.
Baca Juga: Pembuluh Darah di Mata Pecah Usai Menangis, Rey Utami Belum Kapok hingga Nekat Pakai Lensa Kontak
Jenazah pelaut muda ini dibuang ke laut dengan alasan agar para kru kapal lainnya tak terkena penyakit menular yang ditimbulkan dari jenazah.
Akibat kejadian tersebut, namun DPRD Sulawesi Selatan meminta untuk mengusut masalah ini.
"Tak ada yang bisa menghalangi takdir, begitu pun kematian. Tapi kematian seseorang, harus jelas musababnya, dan proses penanganan pun harus memenuhi standar-standar kemanusian dan agama. Ini sungguh mengusik naluri kemanusian kita," kata Wakil Ketua Komisi A DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) Rahman Pina, dikutip dari Detik.
Meski demikian, sebenarnya tidak ada yang salah dalam proses menenggelamkan mayat selama berada di lautan.
Dalam sejarah pelayaran, jika ada seorang yang meninggal di atas kapal dan sulit menemukan daratan untuk mengebumikannya, jenazah bisa dilarungkan (ditenggelamkan) ke dalam laut dengan di beri berbagai pemberat.
Menurut WHO, proses ini berguna untuk mengurangi risiko penularan penyakit menular dari jenazah.
Ada risiko diare dari air minum yang terkontaminasi oleh bahan feses dari mayat.
Desinfeksi air minum rutin sudah cukup untuk mencegah penyakit yang ditularkan melalui air.
Baca Juga: Penyakit Gigi dan Mulut; Jangan Sepelekan Abses Gigi, Bisa Mengancam Nyawa
Sisa-sisa manusia dapat bocor dan mencemari udara atau air sehingga menimbulkan risiko kesehatan dalam beberapa kasus khusus yang memerlukan tindakan pencegahan khusus, seperti kematian akibat kolera atau demam berdarah.
Jenazah atau mayat juga kemungkinan dapat menularkan risiko tertular tuberkulosis (TBC), virus yang ditularkan melalui darah (seperti hepatitis B atau hepatitis C dan HIV), dan infeksi saluran cerna (seperti diare rotavirus, salmonellosis, E. coli, demam tifoid, hepatitis A, shigellosis dan kolera).
Oleh sebab itu, perlu penanganan khusus dan cepat guna mencegah pembusukan mayat.
Terlepas dari itu, diketahui jenazah pelaut muda Alfatah ini sempat mengalami sakit sejak beberapa bulan lalu.
Berdasarkan surat dari Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri RI yang beredar di media sosial, Alfatah meninggal dunia setelah sebelumnya mengalami sakit saat sedang melaut pada 18 Desember 2019.
Dalam surat itu disebutkan, sakit yang dialami Alfatah adalah kaki dan wajah bengkak, nyeri di dada dan napas pendek.
Kapten kapal sempat memberikan obat kepada Alfatah, namun kondisinya tak kunjung membaik.
Pada 27 Desember 2019 pukul 13.30 waktu setempat, Alfatah dipindahkan ke Kapal Long Xing 802 yang akan berlabuh di Samoa (sebuah negara kepulauan di Samudra Pasifik) lalu dibawa ke rumah sakit.
Namun, Alfatah meninggal delapan jam setelah dipindahkan ke kapal tersebut.
Baca Juga: Melalui Video Puisi Menyentuh, Andien Aisyah Umumkan Kehamilan Kedua
Dengan alasan daratan (negara Samoa) masih sangat jauh dan dikhawatirkan adanya penyakit menular yang bisa menjangkiti kru kapal lainnya, kapten kapal memutuskan membuang jenazah Alfatah ke laut tanpa sepengetahuan agen.
Semoga jenazah pelaut muda, Alfatah ini diterima di sisi Tuhan. (*)
Source | : | WHO,Tribun Timur |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Komentar