GridHEALTH.id - Pemerintah Indonesia terus berupaya mensosialisasikan vaksinasi virus corona (Covid-19) yang dijadwalkan akan segera berlangsung.
Diketahui vaksinasi adalah pemberian vaksin dengan cara disuntik atau diteteskan pada mulut guna memicu produksi antibodi untuk memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit infeksi.
Baca Juga: Coba-coba Menggunakan Produk Skin Care peel off mask, Walhasil Alis Pria Ini Rontok
Sementara vaksin sendiri merupakan produk biologi berasal dari virus, bakteri atau dari kombinasi antara keduanya yang dilemahkan.
Menurut NHS vaksin diberikan kepada individu yang sehat guna merangsang munculnya antibodi atau kekebalan tubuh guna mencegah dari infeksi penyakit tertentu seperti Covid-19.
Namun nampaknya pemahaman akan pentingnya vaksinasi belum disadari oleh semua masyarakat.
Terlebih dengan adanya informasi bahwa vaksin Covid-19 disebut-sebut mengandung zat berbahaya.
Dimana salah satu efek sampingnya dapat menyebabkan nyeri bagi mereka relawan yang disuntik.
Melihat hal tersebut, Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof. Hindra Irawan Satiri, SpA(K), MTropPaed pun memberikan penjelasannya mengenai masalah ini.
Baca Juga: Bila Tepat Penggunaannya, Pil KB Paling Efektif Mencegah Kehamilan
Menurutnya informasi vaksin Covid-19 mengandung zat-zat berbahaya itu tidak benar.
Hal itu disampaikannya langsung dalam pada acara Dialog Produktif bertema Keamanan Vaksin dan Menjawab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), sebagaimana dikutip Tribunjabar.id, Selasa (24/11/2020).
"Karena tentu saja kandungan vaksin sudah diuji sejak praklinik. Sebenarnya vaksin tidak berbahaya, namun perlu diingat vaksin itu produk biologis. Oleh sebab itu vaksin bisa menyebabkan nyeri, kemerahan, dan pembengkakan yang merupakan reaksi alamiah dari vaksin. Jadi memang kita harus berhati-hati mengenai mitos-mitos terkait KIPI ini,” ujar Hindra.
Baca Juga: Ini Dia Kaitan Antara Kelebihan Gula dengan Risiko Penyakit Jantung
Ia juga mengaku tidak setuju terminologi antivaksin. Menurutnya, selama ini masyarakat sebenarnya masih miskonsepsi.
"Artinya pengertian masyarakat belum mantap karena mendapat keterangan dari orang-orang yang kurang kompeten atau bukan bidangnya. Kita perlu mendapatkan informasi dari sumber-sumber terpercaya seperti organisasi profesi dan kesehatan terpercaya. Jangan dari situs yang tidak jelas, dari grup WhatsApp itu yang membingungkan masyarakat,” terang Hindra.
Sejauh ini, uji klinik vaksin Sinovac, salah satu kandidat vaksin Covid-19, telah masuk fase III.
Untuk memastikan mutu vaksin Covid-19, ini menurut Hindra, dilakukan inspeksi kesiapan fasilitas produksi baik di Cina maupun di Bio Farma.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Lebih dari 6 Ribu, Jokowi Geram Tingkat Kesembuhan Menurun: 'Semuanya Memburuk'
Pendampingan dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak pengembangan protokol uji klinik dan inspeksi pelaksanaan uji klinik.
Uji klinik merupakan tahapan penting guna mendapatkan data efektivitas dan keamanan yang valid untuk mendukung proses registrasi vaksin Covid-19.
Hinndra mengatakan, sejauh ini tidak ditemukan adanya reaksi yang berlebihan atau Serious Adverse Event yang ditemukan selama menjalankan uji klinik fase III di Unpad.
Baca Juga: Ada Pilkada dan Libur Panjang, Pakar Epidemiologi; 'Covid-19 Bisa Meledak di Desember'
"Untuk mendeteksi dan mengkaji apakah ada kaitannya imunisasi dengan KIPI ada ilmunya, yang disebut Farmakovigilans. Tujuannya untuk meningkatkan keamanan, meyakinkan masyarakat, sehingga memberikan pelayanan yang aman bagi pasien dan memberikan informasi terpercaya,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah terus menyosialisasikan pentingnya pemberian vaksin untuk mencegah penularan penyakit menular, termasuk Covid-19.
Masih banyaknya masyarakat yang belum memahami hal ini membuat sosialisasi harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.
Dikutip dari laman covid19.go.id, Selasa (24/11/2020), dr. Dirga Sakti Rambe, vaksinolog sekaligus dokter spesialis penyakit dalam, mengatakan kemampuan vaksin untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit tertentu seperti Covid-19, membuatnya menjadi alat yang paling efektif untuk mencegah penularan.
Dalam Dialog Produktif bertema “Vaksin Sebagai Perencanaan Preventif Kesehatan” yang diselenggarkan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Senin (23/11/2020), dr. Dirga mengatakan bahwa setiap vaksin punya efektivitas yang berbeda-beda.
Namun, vaksin tidak akan mendapat izin apabila efektivitasnya rendah.
"Untuk vaksin Covid-19, WHO menetapkan efektivitas minimal mencapai 50 persen. Kita harapkan vaksin yang ada nanti efektivitasnya lebih tinggi dari angka yang ditetapkan WHO,” ujarnya.
Ia menyatakan, keliru apabila ada anggapan vaksin itu tidak ada gunanya karena vaksin sifatnya melatih sistem kekebalan tubuh agar mampu memproduksi antibodi.
"Satu lagi vaksin punya keunggulan yang tidak dimiliki upaya pencegahan yang lain, yaitu vaksin memberikan perlindungan yang sifatnya spesifik,” pungkasnya.(*)
Baca Juga: Hore... Vaksin Covid-19 Dipastikan Halal Aman, Jokowi Sudah Simulasi
View this post on Instagram
#berantasstunting
#hadapicorona
#BijakGGL
Source | : | TribunJabar.id,NHS |
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar