Namun, sebuah penelitian terhadap 17 kota di China dengan lebih dari 50 kasus COVID-19 menemukan hubungan antara kenaikan kelembaban dan penurunan kasus COVID-19.
Tim mengukur kelembaban sebagai kelembaban absolut, atau jumlah total air di udara. Untuk setiap gram per meter kubik (1 g/m3) peningkatan kelembaban absolut, ada penurunan 67% dalam kasus COVID-19 setelah jeda 14 hari antara peningkatan kelembaban dan jumlah kasus.
Para ahli melaporkan hubungan serupa antara jumlah kasus dan kelembaban di Australia, Spanyol, dan untuk kasus dan kematian di Timur Tengah.
Penting diketahui juga:
* Wuhan, Cina
* Tokyo, Jepang
* Daegu, Korea Selatan
* Qom, Iran
* Milan, Italia
* Paris, Prancis
* Seattle, AS
* Madrid, Spanyol
Kota-kota ini dibandingkan dengan 42 kota lain di seluruh dunia dengan penyebaran COVID-19 yang rendah.
Kedelapan kota pertama terletak di jalur sempit antara garis lintang 30°LU dan 50°LU.
Selain itu, antara Januari dan Maret 2020, kota-kota yang terkena dampak memiliki suhu rata-rata rendah 5–11°C, 41–52°F, dan kelembapan absolut rendah 4–7 g/m3.
Karenanya Hilary Guite, FFPH, MRCGP di Medical News Today menyimpulkan hal tersebut, seperti berikut ini:
* Studi influenza menunjukkan daerah tropis di mana curah hujan mendorong kelembaban memiliki transmisi yang lebih tinggi dalam kondisi hujan lembab.
* Peneliti Amerika menetapkan ambang batas 18–21°C (64–70 °F) dan kelembaban spesifik di bawah 11–12 g/kg, kira-kira setara dengan 13–14 g/m3, untuk meningkatkan transmisi musim dingin.
Baca Juga: Jokowi Umumkan Masalah PPKM: 'Harus Dilakukan Paling Lama Setiap Minggu', PPKM Diperpanjang Lagi?
Source | : | Medical News Today - Cuca |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar