Sebelum membahas tentang mutasi virus, kita harus paham bahwasannya kemunculan penyakit yang telah diberi nama “COVID-2019” (WHO 2020) di China, sesungguhnya tidak terlepas dari peristiwa awal dimana virus melompat dari hewan ke manusia.
Peristiwa yang membuktikan pentingnya untuk dipahami konsep dasar epidemiologi tentang keterkaitan antara agen penyakit, inang dan lingkungan.
Penyakit baru seperti halnya COVID-19, semakin muncul pada populasi manusia melalui proses “pelimpahan keluar agen penyakit” (spillover) yang kompleks, sering kali terjadi, tetapi tidak terlihat dari suatu kombinasi inang alamiah, inang perantara dan ekosistemnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melansir Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) (20/3/2020), menyatakan bahwa 26% kematian manusia secara global disebabkan oleh penyakit menular dan lebih dari 70% dari penyakit zoonosis baru muncul (emerging zoonoses) bersumber dari interaksi manusia dengan satwa liar.
Banyak penyakit zoonosis baru muncul yang bersumber dari satwa liar terjadi dalam 20 tahun terakhir, seperti human immunodeficiency virus (HIV), Ebola, virus Nipah, severe acute respiratory syndrome (SARS) dan Middle East respiratory syndrome (MERS).
Jika virus-virus tersebut mulai menyebar dari satu orang ke lainnya, maka virus dapat menyebabkan wabah yang berdampak sangat besar bahkan dapat menghancurkan ekonomi suatu negara.
Adapun mutasi virus corona, menurut Ahli Mikrobiologi Universitas Padjadjaran Dr. Mia Miranti, M.P., virus Corona termasuk ke dalam kelompok virus RNA.
Baca Juga: 4 Hal Ini Bisa Buat Penyandang Diabetes Sakit Perut, Ketahui Cara Mengatasinya
RNA merupakan salah satu jenis dari asam nukleat yang menjadi ciri bahwa virus dikategorikan sebagai makhluk hidup.
Hasil penelitian di beberapa jurnal ilmiah menyebut, melansir UNPAD.ac.id (28/12/2020), kelompok virus RNA mudah mengalami mutasi.
Ketika virus Corona menginfeksi satu tubuh inang, maka RNA-nya akan melakukan replikasi atau berkembang biak.
“Replikasi virus ini tidak ada yang tidak menyebabkan penyakit pada inangnya, karena dia akan mengambil alih sistem kerja sel inang untuk proses reproduksi dia,” ujar Mia saat diwawancarai Kantor Komunikasi Publik Unpad, Senin (28/12).
Mia menyebut bahwa virus Corona sebenarnya sudah sering mengalami mutasi.
Mutasi dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan sel inangnya.
Sejak dari Wuhan, Tiongkok, virus Corona sudah mengalami mutasi sehingga dia mampu bertahan pada rentang suhu 5 – 10 derajat Celcius.
Ketika menyebar ke Iran dan kawasan Timur Tengah, Mia memprediksi jika virus telah mengalami mutasi kembali yang memungkinkan dia tahan terhadap suhu panas.
Pengajar di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan llmu Pengetahuan Alam ini menyebut, ada kemungkinan proses mutasi di Inggris dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga kemungkinan infeksinya lebih tinggi.
Baca Juga: Makser Anti Infeksi Omicron, Sesuai yang Direkomendasikan CDC
Dengan kata lain, mutasi suatu virus bisa jauh lebih berbahaya jika dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Karena mutasi setiap virus dipengaruhi oleh faktor inangnya, Mia berpendapat bahwa pengembangan vaksin mestinya disesuaikan dengan hasil mutasi virusnya.
“Vaksin Covid-19 di Indonesia seharusnya disesuaikan dengan karakter virus yang ada di Indonesia,” yang jelas, lanjutnya, berbeda dengan viruis di China, juga di negara lain, pungkasnya.(*)
Baca Juga: Luhut: Omicron Titik Tolak Pemulihan Ekonomi Indoensia, Puncaknya Februari-Maret 2022
Source | : | Okezone-mutasi,CIVAS-inang alami,UNPAD-mutasi virus |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar