GridHEALTH.id - Penggunaan obat antibiotik sepertinya sudah hal yang lumrah di Indonesia.
Padahal obat antibiotik adalah obat beresep, yang artinya tidak bisa dibeli dan diminum sembarangan tanpa diagnosa dan petunjuk pemakaian dari dokter.
Hal ini harus benar-benar diingat dan ditaati.
Karena minum antibiotik secara serampangan, yang generik sekalipun, risikonya sangat berat dan berbahaya.
Untuk diketahui, antimicrobial review menyatakan prediksi apabila resistensi terhadap antibiotik tidak dikendalikan sejak saat ini, pada 2050 dapat terjadi 10 juta kematian terkait resistensi terhadap antibiotik.
Jumlah kematian ini sama dengan 19 kematian dalam 1 menit.
Perlu juga diketahui, dampak resistensi terhadap antibiotik diprediksi pada 2050 akan menyebabkan 28,3 juta orang jatuh miskin.
Kenapa? Biaya Kesehatan akan meningkat dari 300 milyar dolar menjadi 1 triliun dolar menurut prediksi Bank Dunia.
Asal tahu saja, berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015.
Baca Juga: Hidung Tersumbat, Atasi Lewat Pengobatan Rumahan Gunakan Lada Hitam
Pada acara Indonesia One Health University Network (INDOHUN) (5/11/2021) Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI
Periode 2014-2021, menjawab pertanyaan GridHEALTH.id mengenai banyaknya penggunaan antibiotik dimasa pandemi Covid-19, seolah-olah diobral.
Menurutnya jika hal ini bukan saja terjadi di Indonesia tapi diseluruh dunia. "Penggunananya sejak 2020 hingga 2021 bisa dari 27 persen hinga 100 persen.
Source | : | KemkesRI-antibiotik |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar