GridHEALTH.id – Kesejahteraan ibu pekerja di tempat kerjanya memang masih sangat kurang, khususnya dalam bidang kesehatan, seperti masih banyak ibu pekerja yang memilih untuk menyusui di toilet karena alasan keamanan dan kenyamanan, berdasarkan hasil penelitian Health Collaborative Center (HCC).
Meski sudah ada angin segar dengan dibentuknya RUU KIA (RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak), namun sayangnya setelah penandatanganan persetujuan DPR terkait RUU KIA pada bulan Juni lalu, hingga saat ini belum ada lagi perkembangan kelanjutan RUU yang terdiri dari 9 BAB dan 44 pasal ini.
Dalam perjalanannya, memang RUU KIA menemukan berbagai macam tantangan, khususnya penolakan yang terjadi oleh asosiasi perusahaan, dengan anggapan hanya akan membuat kerugian bagi perusahaan jika memberikan cuti 6 bulan pada Ibu pekerja dengan tetap membaya gaji penuh.
Lalu, apakah anggapan ini benar adanya? Dalam pertemuan media terbatas beberapa waktu lalu, peneliti dari HCC memaparkan berbagai hasil penelitiannya, agar dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk menilik lebih jauh manfaat RUU KIA bagi Ibu pekerja dan perusahaan.
Ketua HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK menyebutkan RUU KIA adalah angin segar bagi perlindungan hak kesehatan pekerja perempuan, namun Dr. Ray sendiri mengakui bahwa banyak tantangan dalam penerapannya, seperti keresahan pemilik usaha yang merasa akan berpotensi memberikan beban pembiayaan tambahan terkait cuti melahirkan yang semakin panjang.
“Hal ini tentu saja harus dimitigasi secara ilmiah lewat komunikasi berbasis ilmiah. Bahwa cuti melahirkan 6 bulan justru merupakan investasi karena banyak penelitian termasuk penelitian kami sendiri di Departemen Kedokteran Kerja FKUI yang membuktikan bahwa cuti melahirkan 6 bulan berhubungan positif dengan produktivitas buruh perempuan yang lebih baik,” jelas Dr. Ray dalam pemaparannya saat temu media terbatas (23/12/2022).
Berdasarkan pemaparan yang disampaikan oleh HCC disebutkan, Dr. Ray yang juga selaku Chief Editor dari The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine mengatakan, “Jadi ini bukan cost, tapi memang pemilik tempat kerja harus diberikan justifikasi praktis dan berbukti klinis berdasarkan real-world-evidence.”
Cuti melahirkan 6 bulan dimaksudkan agar ibu pekerja memiliki kesempatan untuk menyusui sang anak dengan ASI secara eksklusif. Tidak hanya baik bagi sang anak, anak mendapatkan imunitas alami untuk pembentukan antibodinya, tetapi juga sangat mempengaruhi sang ibu.
Berikut ini beragam hasil penelitian yang dipaparkan oleh HCC untuk memperlihatkan dampak pemberian cuti 6 bulan dan tidak, yaitu:
- Penelitian di Surabaya, ibu pekerja yang tidak memberikan ASI eksklusif ada sebesar 40% yang mengalami risiko gangguan kesehatan reproduksi dan lebih dari 40% berisiko mengalami gangguan menstruasi.
- Penelitian Baswori dkk juga menyebutkan, buruh perempuan hanya 19% yang berhasil memberikan ASI eksklusif, sehingga berpotensi stres dan gangguan hormonal. Selain itu, ibu pekerja berisiko dua kali lebih besar mengalami gangguan menstruasi karena faktor pekerjaan (occupational hazards) setelah cuti melahirkan.
- Pekerja perempuan dengan sistem shift, khususnya shift malam berisiko tujuh kali lebih besar mengalami gangguan reproduksi termasuk kegagalan menyusui.
Baca Juga: Produktivitas Ibu Pekerja Meningkat Setelah Cuti 6 Bulan, Perusahaan Untung atau Rugi?
Akan tetapi, disadari atau tidak, fakta di lapangan yang dijelaskan oleh Dr. Ray, penyediaan ruang laktasi untuk Ibu pekerja dapat menyusui dengan aman pun tidak tersedia, apalagi jika berbicara mengenai keberadaan konselor laktasi. Inilah yang membuat Ibu pekerja masih banyak yang memilih untuk menyusui anak di kamar mandi dengan alasan keamanan.
Salah satu penelitian oleh Dr. Ray, yang telah diterbitkan di laman jurnal internasional, “Implementation of Breastfeeding Friendly Policy in a Factory: A Qualitative Study among Occupational Health and Safety Coordinators in Indonesia” mendapati ASI eksklusif dan perilaku laktasi meningkatkan produktivitas kerja, delapan kali lebih besar ibu pekerja mencapai target kerja dan 1,5 kali lebih baik tingkat kehadiran kerja.
Hal ini dapat terjadi karena adanya keterkaitan pada tingkat keberhasilan ibu memberikan ASI eksklusif. Saat ibu berhasil memberikan ASI eksklusif, maka kesehatan ibu akan semakin meningkat karena mengurangi berbagai macam risiko gangguan hormon.
Selain itu, anak yang mendapatkan ASI eksklusif akan jauh lebih sehat, sehingga cuti untuk ibu karena anak sakit dapat diminimalisir dan penggunaan asuransi kesehatan akibat anak sakit pun dapat diminimalisir. Saat anak sehat, ibu pun tidak mudah sakit, ketahanan keluarga pun meningkat dan ibu dapat lebih produktif saat kembali bekerja.
Dari berbagai hasil penelitian, baik yang dilakukan oleh HCC maupun penelitian tambahan lainnya, HCC merekomendasikan agar RUU KIA dapat dipaparkan dalam riset berbasis bukti sebagai penguat dari setiap pasal yang tercantum, sehingga pihak perusahaan dapat tersosialisasi dengan baik.
Seperti memperlihatkan kepada perusahaan lain, besarnya keberhasilan dan menghitung parameter produktivitas serta pencapaian kinerja karyawan atau buruh yang kembali bekerja setelah cuti 6 bulan dibandingkan cuti 3 bulan, yang sudah diterapkan oleh berbagai perusahaan multinasional di Indonesia.
“Sebagai peneliti kedokteran kerja, kami meyakini metode iniakan memberi substansiasi yang kuat karena baik secara teori maupun kajian apliaksi real-world di negara maju, pasti cuti 6 bulan lebih bisa meningkatkan produktivitas pekerja perempuan dibanding hanya cuti 3 bulan,” ungkap Dr. Ray.
Selain itu, HCC juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk menggunakan metode yang lebih mutakhir dalam berkomunikasi dengan pihak perusahaan, seperti dengan mengajukan hasil kajian secara Health Economic (ekonomi kesehatan), karena menurutnya akan lebih efektif dalam merasionalisasi investasi cuti 6 bulan yang akan memberi dampak menguntungkan bagi pemilik usaha dan bukan beban pembiayaan, dengan anggapan gaji tetap dibayar meskipun tidak bekerja.
Penting diketahui, Health economic sendiri sudah diterapkan dalam sistem BPJS Kesehatan selama beroperasi, di mana secara umum gambaran dari metode ini adalah mengeluarkan pengeluaran yang lebih besar di awal, namun menilik manfaat yang jauh lebih besar ke depannya.
Untuk itu Health Collaborative Center merekomendasikan perlu segera diaktifkan kolaborasi dengan industri dan akademisi atau universitas untuk mulai menggarap penelitian klinis aplikasi terkait kedokteran kerja serta melakukan kajian health economic terkait cuti 6 bulan dan kebijakan perlindungan hak kesehatan pekerja perempuan, sehingga diharapkan dapat memberikan jalan tengah bagi kesejahteraan Ibu pekerja dan pemilik usaha.
Selain diperlukannya melampirkan hasil penelitian berbasis data dalam RUU KIA, di sisi lain HCC juga mengimbau untuk menilik kembali setiap pasal di dalamnya, salah satunya cuti selama dua bulan untuk suami, karena HCC melihat berdasarkan penemuan pekerja di Jepang, cuti dua bulan untuk suami adalah waktu yang terlalu lama dan tidak menunjukkan hasil yang begitu signifikan seperti pada ibu, sehingga HCC merekomendasikan untuk mengurangi durasi waktunya. (*)
Source | : | Diskusi Kelompok Terbatas oleh HCC, dr. Ray Wagiu |
Penulis | : | Vanessa Nathania |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar