GridHEALTH.id – Indonesia kembali dihantui oleh virus campak, setelah puluhan kabupaten kota di Indonesia menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) campak.
Campak bisa menyerang siapa saja, namun akan sangat mematikan bagi anak yang belum memiliki imunitas terhadap virus ini, di sisi lain penyakit ini bisa dengan cepat menular.
Oleh karena itu, penting untuk orangtua memastikan anaknya mendapatkan imunisasi lengkap sebagai kunci pencegahan campak, jika tidak ingin otak dan paru anak terganggu akibat campak.
Berikut ini komplikasi serius dari penyakit campak yang tidak boleh disepelekan orangtua.
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan per 18 Januari 2023, disebutkan saat ini sudah ada 53 KLB campak di 34 kabupaten kota di 12 provinsi yang ada di Indonesia. Penetapan KLB ini disesuaikan dengan kondisi di setiap daerah yang sudah ditemukan adanya lonjakan kasus atau kemunculan kasus baru yang tadinya tidak ada.
Dokter Anggraini Alam, dr.,SpA(K), selaku Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Tropik IDAI menyampaikan kasus konfirmasi campak yang telah melalui laboratorium pada tahun 2022 meningkat 32 kali lipat lebih besar dari tahun 2021, pada Media Briefing IDAI kemarin (19/01/2023), dan diikuti GridHEALTH.id.
WHO sendiri telah memberikan peringatan kepada negara-negara di Asia Tenggara untuk menekan angka kejadian campak dengan kecepatan yang tinggi, mengingat target dari WHO sendiri adalah tahun 2026, dunia bebas campak.
Peringatan ini diberikan melihat peningkatan jumlah kasus yang cukup signifikan termasuk di Indonesia.
Secara spesifik contohnya pada September 2017 hingga Januari 2018, tercatat wabah campak di Timika begitu merajalela, dengan total kasus 646 campak dan 144 gizi buruk dari 12.398 anak. Hingga 70 anak meninggal akibat campak dan gizi buruk.
Campak pertama kali ditemukan 1954 dan merupakan jenis virus RNA yang tergolong dalam penyakit infeksi. “Campak, suatu penyakit yang faktor risikonya satu-satunya kena campak itu ya gara-gara ga divaksin, begitu stop vaksin, kita akan ketemu penyakit itu,” kata dr. Anggraini.
Seseorang yang terinfeksi campak akan masuk ke dalam tubuh dan ke darah, virus ini bukan hanya menimbulkan gejala di kulit, tetapi juga akan berdampak ke mata, jantung, paru, saluran pencernaan, hingga sistem imun.
Dokter Anggraini Alam menjelaskan orang yang terinfeksi campak akan melewati tiga stadium, prodromal, erupsi, konvalesens, dengan rincian gejala khas campaknya yaitu:
Gejala: Demam tinggi, ada 3C (coryza/pilek; conjunctivitis/mata merah; dan cough/batuk). Jika anak menunjukkan gejala 3C ini, maka besar kemungkinan anak disebut terkena campak.
Baca Juga: Terisolir Dari Dunia Luar, Warga Badui yang Meninggal Minggu Lalu Terindikasi Campak
Gejala: Muncul ruam khas dimulai dari antara rambut dan kulit, paling mudah dicek di belakang telinga, lalu mulai di muka, barulah ke batang tubuh dan berkumpul di hari-hari berikutnya.
Semua gejala menghilang dan ruam berubah menjadi hitam, lalu menghilang.
“Muka anaknya seperti marah, dia bete, karena memang rasanya gaenak, demam, pegal, sakit kepalanya, belum lagi batuk-batuk, muntah, kemudian batuknya agak kering biasanya,” sambung dr. Anggraini.
Suatu penyakit yang mudah menular diperlukan cakupan imunitas kekebalan tubuh yang semakin tinggi, agar tidak menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Selain itu, dijelaskan oleh dr. Anggraini bahwa komplikasi campak bisa ke mana-mana, berikut ini ragam komplikasinya:
- Mata menjadi buta
- Penyakit jantung
- Mulut luka
- Pneumonia, infeksi paru
- Penurunan kemampuan otak
- Dehidrasi berat dan diare hebat
- Keluar cairan dari telinga.
Baca Juga: Baru Sembuh Covid-19, Kapan Vaksin Anak Campak Rubella Bisa Diberikan?
“Campak ditambah kurang gizi, siap-siap memang dia akan menyebabkan meninggal,” kata dr. Anggraini.
Kematian tertinggi disebutkan apabila campak sampai ke paru, ini menyebabkan kematian lebih dari 50%.
Kondisi lain yang paling menyedihkan dari komplikasi campak adalah otak anak bisa rusak setelah beberapa hari hingga beberapa minggu ketika adanya virus campak di dalam tubuh. Kemudian dalam setahun maka bisa ditemukan virus campaknya di otak. Virus campak yang mencapai otak tentu akan menyebabkan kematian.
“Paling sedih, dari 10.000-100.000 yang terkena campak akan mengalami subacute sclerosing panencephalitis, kalau kena komplikasi campak ini munculnya bisa beberapa tahun kemudian, pada saat sekolah yang tadinya pinter, kok ga pinter ya, penurunan kemampuan,
Biasanya bisa, tiba-tiba jatuh, lama-lama dia duduk aja gabisa, merosot, kemudian muncul gerakan-gerakan dan gabisa diapa-apain sampainya akhirnya meninggal, jeleknya dengan semua itu, meninggalnya lama, ini dia menderita satu sampai tiga tahun,” jelas dr. Anggraini mengenai bahayanya komplikasi campak.
Anak yang terkena campak juga bisa mudah terkena infeksi, akibat tidak adanya vaksin sebelumnya, sehingga virus campak berhasil menurunkan antibodi anak, ini yang dikenal dengan immunological amnesiaatau ‘lupa antibodi’.
Campak disebut sangat potensial menyebabkan wabah, karena penyakit ini sangat menular melalui udara dan penularan terjadi dari sebelum seseorang menunjukkan muncul ruam, sampai hari keempat muncul ruam. Sehingga tidak bisa dianggap biasa.
Imunisasi campak menjadi kunci pencegahan dan cara menghilangkan virus campak ini, dimana sebenarnya imunisasi campak sudah ditemukan sejak tahun 1968 dan dunia hampir tidak menemui campak, namun waspada terhadap campak.
Sayangnya kondisi di Indonesia, berdasarkan data yang dipaparkan oleh dr. Anggraini bahwa cakupan imunisasi campak DTP sudah mulai turun dan semakin menurun di tahun 2020. “Artinya memang cakupan (imunisasi) Indonesia sudah rendah, mulai di 2015, utamanya.”
Dokter Anggraini mengingatkan kepada seluruh orangtua untuk tidak lagi menganggap enteng penyakit campak, karena bisa menjadi suatu ancaman jika salah satu kelompok terkena campak. “Jadi, masyarakat itu perlu disadarkan, bahwa campak itu gabagus,” tutup dokter Anggraini.
Selain itu, laporkan ke fasilitas layanan terdekat jika melihat ada kasus demam ruam, sebagai antisipasi dari ditemukannya campak. (*)
Baca Juga: 3 Penyakit Ini Ditakutkan Jadi KLB Kembali di Indoensia, BIAN Cara Cegahnya
Source | : | IDAI |
Penulis | : | Vanessa Nathania |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar