GridHEALTH.id - Selama pandemi COVID-19, terlihat jelas adanya kesenjangan antara negara maju dengan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah atau.
Isu nasionalisme, pendanaan, hak cipta, berbagi patogen, serta manfaat dari produk yang berkaitan dengan pandemi semakin memperbesar kesenjangan.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. M Syahril menyatakan, "Kesenjangan tersebut menyebabkan, hingga saat ini, masih ada 30% penduduk dunia yang belum pernah sekalipun mendapatkan vaksin."
Pandemic Treaty diharapkan dapat mendorong negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan akses terhadap vaksin, obat, dan alat diagnostik yang setara dengan negara maju.
Negosiasi telah berlangsung sejak Desember 2021, namun karena belum mencapai kesepakatan, sidang World Health Assembly ke-77 memutuskan untuk memperpanjang negosiasi hingga sidang WHA berikutnya.
Dalam proses ini, Indonesia aktif berpartisipasi dalam perundingan Pandemic Treaty pada Intergovernmental Negotiating Body (INB), memperjuangkan kepentingan nasional terutama dalam isu-isu strategis seperti sistem pemetaan, transfer teknologi, dan kesetaraan akses dalam menghadapi pandemi.
Negosiasi yang alot telah dilakukan lebih dari 10 kali hingga batas waktu pada tanggal 24 Mei 2024.
Namun, beberapa pasal masih belum disepakati, terutama mengenai Pathogen Access and Benefit Sharing (PABS), pencegahan dan instrumen One Health, transfer teknologi dan ilmu pengetahuan, no-fault compensation, dan pendanaan.
Posisi Indonesia
“Pemerintah Indonesia akan tetap memperjuangkan prinsip kesetaraan antara negara maju dan negara berkembang agar dapat masuk dalam Pandemic Treaty,” lanjut dr. Syahril, dikutip dari rilis Kemenkes RI.
Pemerintah Indonesia mendorong agar setiap data sharing, khususnya yang melibatkan patogen dan informasi sekuens genetik (genetic sequence information), disertai pembagian manfaat (benefit-sharing) yang setimpal.
Baca Juga: Apa Itu Pandemic Treaty, Diusulkan Sejak 2021 dan Masih Menemui Jalan Buntu Kesepakatan
Selain itu, pemerintah juga mendorong upaya untuk memastikan adanya pengaturan internasional mengenai standar data dan interoperabilitas.
Indonesia telah menginisiasi Material Transfer Agreement (MTA) untuk spesimen virus avian influenza (flu burung). Pemerintah juga mendorong pembentukan instrumen One Health untuk mengatur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan yang dapat dilaksanakan negara berkembang dengan dukungan negara maju.
Transfer teknologi yang berkeadilan juga menjadi fokus, dengan harapan dapat digunakan oleh negara berkembang untuk membangun produsen lokal guna menciptakan kemandirian.
Mengenai perizinan, Indonesia mendorong transparansi dan non-eksklusivitas, terutama saat pandemi, serta memastikan teknologi dan inovasi dapat diakses oleh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang.
Pendanaan yang setara dan dapat diakses oleh seluruh negara juga menjadi fokus penting untuk implementasi Pandemic Treaty. Indonesia mendukung mekanisme pembiayaan seperti Pandemic Fund dengan penyesuaian sesuai konteks Pandemic Treaty.
Indonesia akan terus memperjuangkan kesetaraan akses dan transfer pengetahuan serta teknologi antar negara untuk membangun industri farmasi dengan prinsip dasar kesetaraan.
“Pada saat bersamaan, Pemerintah RI akan terus memperkuat legislasi di tingkat nasional agar siap menghadapi ancaman pandemi lainnya,” kata dr. Syahril.
Peran WHO
Kemudian dr. Syahril juga menjelaskan kesalahpahaman tentang peran WHO selama pandemi COVID-19, menegaskan bahwa WHO tidak memiliki kewenangan untuk mendikte negara atau penduduk.
WHO tidak dapat mengendalikan pergerakan penduduk melalui paspor digital, pemaksaan vaksinasi, lockdown, atau pengerahan militer.
Kedaulatan negara tetap dihormati, dan keputusan terkait penanganan pandemi adalah tanggung jawab pemerintah negara masing-masing.
Baca Juga: Ancaman Kesehatan dari Perubahan Iklim Jadi Fokus WHO di Program Kerja 2025-2028
Penulis | : | David Togatorop |
Editor | : | David Togatorop |
Komentar