GridHEALTH.id - Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 adalah gabungan antara Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI).
SKI 2023 bertujuan untuk mengevaluasi kemajuan pembangunan kesehatan yang telah tercapai dalam lima tahun terakhir di Indonesia.
SKI memberikan kesempatan bagi pemerintah dengan menyediakan evaluasi terhadap capaian program-program yang telah dilaksanakan, memberikan informasi dasar untuk merumuskan kebijakan, serta mendukung perencanaan dan penetapan target berdasarkan data yang akurat.
Sebagai turunan dari Laporan Tematik SKI 2023, terdapat hasil SKI 2023 berupa tujuh fakta dari Laporan Tematik SKI 2023.
1. Tantangan Kepemilikan Jaminan Kesehatan dan Upaya Peningkatan Akses Kesehatan di Indonesia
Sebanyak 27,8% penduduk Indonesia masih belum memiliki jaminan kesehatan yang berlaku, dengan lima provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak tanpa jaminan kesehatan adalah Papua Pegunungan (55,4%), Papua Tengah (42,7%), Maluku Utara (41,5%), Maluku (39,4%), dan Jambi (37,0%).
Lebih dari setengah rumah tangga (59,6%) yang memiliki jaminan kesehatan ditanggung negara (PBI dan Jamkesda) menggunakan layanan kesehatan di Puskesmas.
Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan cakupan kepesertaan, ketepatan penetapan sasaran jaminan kesehatan, serta peningkatan akses kesehatan.
2. Situasi dan Tantangan Kesehatan Ibu dan Neonatus di Indonesia
Terdapat masalah dalam continuum of care pada pelayanan kesehatan ibu dan neonatus, dengan cakupan pelayanan yang berkurang seiring bertambahnya usia kehamilan, masa nifas, dan periode neonatus, terlihat dari gap kunjungan pertama dan terakhir yang lebih dari 40%.
Masih ditemukan persalinan oleh tenaga kesehatan yang dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan, dan penanganan terhadap risiko penyebab kematian neonatus, seperti berat badan lahir rendah (BBLR), belum dilakukan secara optimal.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dan Tujuannya
3. Stunting Balita di Indonesia dan Faktor Determinan
Pada tahun 2023, prevalensi stunting balita menurun sebesar 0,1% dibandingkan tahun 2022, dengan 19 provinsi mengalami penurunan dan 15 provinsi mengalami kenaikan.
Lima provinsi dengan jumlah kasus stunting terbanyak adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Banten. Prevalensi stunting dipengaruhi berbagai faktor pada periode prenatal dan postnatal, terutama Bumil risiko kekurangan energi kronis (KEK) dan pemeriksaan kehamilan (kontak minimal 4 kali selama masa kehamilan/K4).
Dibandingkan tahun 2022, pada tahun 2023 proporsi Bumil risiko KEK meningkat, sementara pemeriksaan kehamilan (K4) menurun.
4. Gambaran Prevalensi, Dampak, serta Upaya Pengendalian Hipertensi dan Diabetes di Indonesia
Hasil SKI 2023 menunjukkan prevalensi hipertensi (30,8%) dan diabetes (11,7%) masih tinggi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan kadar gula darah.
Perilaku pencarian pengobatan di kalangan masyarakat yang menderita hipertensi dan diabetes masih kurang, sementara kejadian disabilitas pada penderita kedua penyakit ini cukup tinggi.
Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan pengendalian hipertensi dan diabetes seawal mungkin.
5. Depresi pada Anak Muda di Indonesia
Prevalensi depresi tertinggi terjadi pada anak muda (2%), namun hanya 10,4% dari mereka yang mengakses pengobatan. Proporsi depresi lebih tinggi pada kelompok perempuan (2,8%), berpendidikan menengah (2,2%), serta mereka yang tidak bekerja, bekerja sebagai buruh, supir, pembantu, dan masih sekolah (>2%).
Proporsi yang lebih tinggi juga terlihat pada kelompok yang tinggal di perkotaan (2,5%) dan status ekonomi teratas (2,2%). Depresi yang tidak mendapatkan penanganan yang baik berpotensi menyebabkan bunuh diri.
Baca Juga: Biaya Konsultasi dengan Psikolog Ditanggung BPJS, Begini Syaratnya
6. Problematika Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia
Tren masalah kesehatan gigi dan mulut pada SKI 2023 mengalami penurunan dibandingkan Riskesdas 2018, meskipun tidak terlalu signifikan.
Upaya peningkatan derajat kesehatan gigi dan mulut yang optimal harus lebih diperhatikan di setiap usia sasaran sesuai siklus hidupnya, dengan perlakuan yang berbeda untuk setiap siklus hidup, mulai dari bayi, balita, ibu hamil, orang dewasa, hingga lansia.
Untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut di Indonesia, diperlukan penanganan yang tepat dengan meningkatkan akses layanan kesehatan gigi dan mulut yang merata serta memasyarakatkan literasi kesehatan mulut.
7. Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Dokter di Indonesia
Penggunaan antibiotik oral di masyarakat mencapai 22,1% dalam setahun, dengan 41,0% dari mereka memperoleh antibiotik tanpa resep.
Dampak dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional, termasuk resistensi antimikroba (AMR), sangat serius bagi individu dan masyarakat.
Solusi untuk masalah ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, seperti pemerintah, tenaga kesehatan, apotek, dan komunitas.
Edukasi publik tentang penggunaan antibiotik yang tepat dan pengawasan ketat terhadap regulasi peresepan antibiotik diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya AMR.
Baca Juga: Resistensi Antimikroba Dapat Berakibat Fatal, Ketahui Penyebab dan Cara Cegahnya
Penulis | : | David Togatorop |
Editor | : | David Togatorop |
Komentar