GridHEALTH.id - Mata malas, atau ambliopia, adalah kondisi di mana satu mata tidak berkembang dengan baik, sehingga menyebabkan penglihatan pada mata tersebut menjadi lemah.
Kondisi ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak ketika otak dan mata tidak bekerja bersama secara optimal.
Akibatnya, otak lebih memilih menggunakan mata yang lebih kuat dan mengabaikan mata yang lebih lemah, yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen.
Ada beberapa penyebab umum mata malas, termasuk strabismus atau mata juling, di mana kedua mata tidak sejajar dengan baik.
Untuk mengatasi mata malas, beberapa metode dapat dilakukan. Salah satunya adalah dengan menggunakan kacamata untuk mengoreksi penglihatan, atau menutup mata yang lebih kuat dengan penutup mata agar mata yang lemah dilatih.
Terapi visual juga bisa menjadi pilihan pengobatan, tergantung pada tingkat keparahan kondisi dan usia penderita.
Semakin dini kondisi ini dideteksi dan diobati, semakin besar peluang untuk memperbaiki penglihatan.
Dokter Spesialis Mata RS Mata Cicendo Dr. dr. Feti Karfiati Memed, SpM(K), MKes menjelaskan, “Hanya anak-anak yang bisa mengalami ambliopia. Jika tidak diterapi pada masa anak-anak, hal ini akan mengakibatkan hilangnya penglihatan secara permanen,” ujar dr. Feti dalam konferensi pers Hari Penglihatan Sedunia, Senin (7/10).
Ambliopia yang tidak ditangani dengan baik pada masa anak-anak merupakan penyebab umum hilangnya penglihatan pada orang dewasa usia 20 hingga 70 tahun.
Penyebabnya sering kali terkait dengan kelainan refraksi yang tidak terkoreksi, strabismus, atau gangguan mata seperti katarak.
Pemeriksaan penglihatan pada usia sekolah sering kali dianggap terlambat, karena ambliopia sulit disembuhkan setelah usia 5 tahun, dan kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi jika terapi dimulai setelah usia 8 hingga 10 tahun.
Baca Juga: Jangan Dianggap Sakit Biasa, 4 Kondisi Ini Ternyata Ciri-ciri Kolesterol di Mata
Anak-anak yang berisiko mengalami ambliopia biasanya memiliki riwayat keluarga dengan masalah mata seperti strabismus, mata malas, atau penggunaan kacamata sejak kecil.
Faktor risiko lainnya termasuk kelahiran prematur, keterlambatan perkembangan, dan diabetes.
Riwayat medis ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ambliopia pada anak.
Selain itu, kondisi mata seperti mata juling, mata berair, ptosis, dan penglihatan kabur juga perlu diperhatikan.
Skrining mata sebaiknya dilakukan sejak bayi baru lahir, pada usia sekitar 0 hingga 2 tahun, untuk mengetahui riwayat masalah mata dalam keluarga dan mencegah gangguan lebih lanjut.
“Kemudian, cek penglihatan pergerakan mata atau adanya nistagmus, jadi matanya tidak diam, dia bergerak terus, kemudian bagaimana posisi bola mata apakah ada juling, dan refleks pada kornea serta cover tes untuk melihat ada juling atau tidak,” tutur dr. Feti.
Skrining mata berikutnya dilakukan pada usia 36 hingga 47 bulan (sekitar 3 hingga 4 tahun).
Pada usia 5 tahun (60 bulan), skrining mata diulang lalu dianjurkan dilakukan setiap tahun untuk memantau kesehatan mata anak.
Menurut dr. Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, sebagian biaya kesehatan untuk ambliopia dan kasus anak lainnya akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan bagi peserta yang terdaftar.
Dia juga mengingatkan pentingnya deteksi dini dan melibatkan guru dalam memantau penglihatan anak di sekolah.
“Dalam rangka Hari Kesehatan Mata, kami benar-benar ingin mengingatkan kepada masyarakat, terutama untuk melakukan deteksi lebih dini, dan kalau memang kita perlu perkuat guru-guru di sekolah agar dapat memperhatikan anak didiknya. Kalau anak didik duduk pada jarak tertentu tapi tidak bisa baca, ini harus segera dikonsultasikan,” ucap dr. Nadia.
Baca Juga: 6 Ciri-ciri Mata Sehat, Penglihatan Jernih dan Tajam Salah Satunya
Penulis | : | David Togatorop |
Editor | : | David Togatorop |
Komentar