Jika dokter menemukan kelainan pembesaran uterus (rahim) yang lebih cepat dari normal, bisa saja ia sudah mencurigai terjadi kehamilan anggur.
Demikian pula saat USG, bahkan USG transvaginal dapat mendeteksi kehamilan anggur pada usia 8-10 minggu.
Biasanya, saat USG muncul gambaran badai salju (snow storm atau snow flake pattern).
Jika terjadi hamil anggur namun ibu tidak mengalami keguguran spontan, tindakan yang dilakukan adalah dilatasi dan kuretase.
Yakni dengan memasukkan alat melalui vagina untuk menyedot gelembung-gelembung sampai bersih.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan usai dilakukan dilatasi dan kuretase, yaitu:
*Ibu harus tetap mendapat pengawasan, terutama memonitor adanya penyulit seperti kadar hormon HCG (Hormon Chorionic Gonadotrophin) secara berkala, yaitu 2 minggu dalam 3 bulan pertama, sebulan sekali pada 3 bulan berikutnya, 2 bulan sekali untuk 6 bulan berikutnya.
Tiga tahun berikutnya, pemeriksaan ini dilakukan setiap 6 bulan sekali.
*Mencegah penyebaran sel trofoblas dengan cara pemberian obat sitostatik, yaitu obat penghenti pertumbuhan sel. Perlu diketahui, sel trofoblas dapat menyebar melalui darah.
Jika tak terkendali bisa merusak fungsi sel-sel lain di sekitarnya, seperti paru-paru, vagina, sumsum tulang belakang, serta hati.
*Ibu harus melakukan pemeriksaan darah setiap minggu dan rontgen setiap 4-6 minggu.
Baca Juga : Kementerian Kesehatan Telah Umumkan Kasus KLB Rabies di NTB
*Ibu sebaiknya menunda dahulu kehamilan berikutnya dengan menggunakan alat kontrasepsi karet KB (kondom).
Pasalnya, ada kemungkinan ibu akan mengalami hamil anggur kembali pada kehamilan berikutnya.
Umumnya terjadi pada ibu hamil di bawah 20 tahun, di atas 34 tahun, serta mempunyai banyak anak (lebih dari 3 orang).