GridHEALTH.id - Pelit atau kikir, termasuk salah satu sifat negatif yang dibenci lingkungan sosial karena susah untuk berbagi.
Baca Juga: Uang dan Pekerjaan, Ini Alasan Orang Menekan Tombol Alarm Agar Bisa Bangun di Pagi Hari
Sifat ini mendorong seseorang untuk menumpuk harta tanpa pernah mau memerhatikan nasib saudaranya. Dia tidak peduli dengan kondisi orang lain, yang penting dia sendiri bahagia, syukur-syukur bisa kaya.
Pelit berbeda dengan hemat. Dengan berhemat, kita bisa membiasakan diri untuk hidup sederhana dan berusaha mengendalikan nafsu, pasalnya dengan didasari rasa hemat maka tak segala keinginan akan dengan mudah dipenuhi, pemborosan akan menjadi satu alasan dalam mempertimbangkan segala hal.
Namun orang yang berhemat masih sudi berbagi, terutama bila ada rezeki atau memang sudah menyisihkan sebagian apa yang diperolehnya untuk berbagi kepada orang lain.
Sebaliknya, seperti telah disebutkan di atas, pelit atau kikir, adalah kesukaan seseorang menumpuk harta tanpa mau berbagi.
Mungkin banyak yang mengira sifat pelit hanya masalah pribadi seseorang. Dampaknya hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan.
Baca Juga: Keracunan Buah Leci, 31 Anak di India yang Awalnya Sehat Langsung Meninggal Karena Radang Otak
Padahal tidak. Sifat pelit membawa bahaya besar bukan hanya pada kehidupan pribadi. Masyarakat juga bisa terkena dampak sifat kikir seseorang.
Dikutip dari dream co, dampak luas itu terjadi karena sifat kikir bisa menjerumuskan orang untuk melakukan segala cara demi mendapatkan harta. Sekalipun cara yang dijalankan tergolong tidak bermoral.
Baca Juga: Belum Banyak yang Tahu, Manfaat Durian Untuk Kesuburan Wanita
Pelit juga cenderung memutuskan silaturahim dan relasi dengan orang lain karena orang pelit tidak peduli dengan lingkungannya dan lebih mementingkan diri sendiri.
Bahayanya buat kesehatan, sifat pelit dan kikir itu juga menyebabkan penyakit stres.
Sejumlah responden dikumpulkan dalam satu penelitian yang dilakukan oleh tim Queensland University of Technology (QUT) Australia. Selanjutnya melalui simulasi tawar-menawar transaksi keuangan, para responden tersebut dijadikan sample guna mengukur respons fisiologis.
Dari sampling tersebut diperoleh keterangan bahwa mereka yang membuat penawaran relatif rendah justru menjadi sosok yang mengidap lebih banyak stres dibanding dengan sosok yang melakukan penawaran lebih tinggi.
Dari penelitian yang ada, para ahli melakukan pengukuran terhadap detak jatung pada saat terjadinya transaksi.
Responden yang menawar dengan harga rendah, dan juga pihak yang menerima tawaran akhir rendah, keduanya didefinisikan mengalami peningkatan detak jantung, di mana peningkatan detak jantung itu serupa dengan kondisi seseorang yang mengidap penyakit stres.
Baca Juga: Surati Menkominfo, Menkes Minta Iklan Rokok Diblokir di Internet
Penelitian ini sengaja didasarkan pada “eksperimen ekonomi” yang melibatkan responden dengan cara mengukur detak jantung yang memang bertujuan guna mengukur stres mental ketika berhubungan dengan uang dan pembuatan keputusan.
Dari penelitian ini para ahli juga menafsirkan bahwa para responden yang kikir cenderung berkadar stres lebih tinggi, kemungkinan besar disebabkan oleh perasaan bersalah.
Baca Juga: Dibalik Alasan Kesehatan Mengapa Kentut dan Sendawa Tak Boleh Ditahan-tahan
Mengacu pada kesimpulan para peneliti yang tergabung pada Queensland Behavioral Economics Group Laboratory for Economic Experiments, ada indikasi bahwa kita memiliki perasaan negatif ketika memperlakukan orang lain dengan tidak adil.
Terbukti dengan munculnya rasa tak nyaman sebagai pengganti biaya emosi dan fisiologi dalam melalukan penawarkan dengan harga di bawah 40 persen dari total nilai.
Oleh karenanya, mau ditutup-tutupi dengan sikap tegas atau keberanian dalam mengambil sikap seperti apapun, kenyataannya tetap masih terlihat adanya indikasi berempati kepada pihak lain, bukan?
Hal itu tergambar pada perasaan bersalah sebagaimana yang telah dideteksi oleh para peneliti tersebut.
Apabila dirunut lebih lanjut untuk menengok catatan terdahulu, sejatinya penelitian di QUT Brisbane – Australia tersebut sangat berhubungan erat dengan penelitian mengenai manfaat alturisme dalam konteks ekonomi.
Baca Juga: Cara Baru Menikmati Kopi dengan Cold Brewing, Lebih Sehat Dari Kopi Panas?
Yaitu terbukti dengan tindakan amal yang justru memberikan manfaat dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
Tak heran banyak tokoh dan milyader yang kemudian menjadi filantropis (dermawan) sebutlah Bill Gates, Wareen Buffet, di Indonesia Dato Sri Tahir yang memantapkan diri merogoh sebagian besar kekayaannya untuk kemaslahatan orang banyak.
Baca Juga: 5 Cara Cek Kesehatan Kaki, Sederhana, Cepat dan Murah
Mereka semakin membenarkan faham yang mengatakan bahwa tak ada ruginya kita bersikap murah hati meski itu berhubungan dengan urusan finansial sekalipun. (*)