Find Us On Social Media :

Lagi Soal BPJS Kesehatan, Menteri Terawan 'Tuding' Rumah Sakit Banyak Gelembungkan Biaya di Tindakan-tindakan Ini

Mayjen dr. Terawan Agus Putranto 'tuding' sejumlah rumah sakit lakukan pelayanan berlebihan sehingga tagihan BPJS meningkat.

GridHEALTH.id – Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam berbagai kesempatan menyoroti tentang besarnya tagihan rumah sakit yang membengkak terhadap BPJS Kesehatan.

Baca Juga: Baru Beberapa Hari Menjadi Menteri Kesehatan dr Terawan Kena Damprat Anggota DPR Ini Saat Raker Perdana, Gegaranya BPJS

Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah banyak tenaga kesehatan yang memberikan diagnosis tak perlu kepada pasien yang berujung pada tindakan percuma yang membuat klaim BPJS ke rumah sakit menjadi sangat besar.

Dalam undang-undang, Menkes menyebut pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien harus yang tepat sasaran dan optimal. Sayangnya yang terjadi saat ini pemberian diagnosis dianggap berlebihan dan terkesan tak terbatas.

"Tapi yang terjadi adalah unlimited medical services. Siapa negara yang mampu unlimited medical services? Di Amerika saja Obama Care langsung kelimpungan kalau unlimited," kata Menkes seperti dikutip dari Kompas.com (25/11).

Banyak tenaga kesehatan yang disebut tidak menerapkan kaidah pelayanan kesehatan dasar. Bukan hanya dari segi tindakan, tapi juga kelas rawat inap pasien.

Di samping itu, pelayanan yang diberikan menurutnya terlalu maksimal sehingga terkesan berlebihan. Padahal, diagnosis terlalu maksimal juga akan membahayakan pasien.

Baca Juga: Jagung Dinobatkan Jadi Makanan Paling Oke Untuk Penderita Diabetes Oleh WHO!

"UU-nya adalah pelayanan kesehatan dasar, itulah yang kita benahi. Kedua, pelayanan kelas standar. Kelas standar itu kelas berapa ya tentukan aja mau di mana. Di situ lah mulai terjadi ketimpangan," sebutnya.

Klaim pembiayaan terbanyak pun dipegang oleh pengguna BPJS Kesehatan mandiri. Pemakaiannya sudah mencapai 400%, dalam artian meski semua peserta mandiri membayar dengan teratur, tetap akan terjadi defisit.

Baca Juga: Matanya Selalu Berair Awalnya Dikira Hanya Gangguan Mata Biasa, Ternyata Adalah Kanker Ganas

"Yang jadi masalah adalah BPJS mandiri. Itu mau kelas 1,2,3, di atas 400 % artinya 4 kali lipat pemakaiannya. Dinaikan (iurannya) juga nggak nutup," terangnya.

"Seolah-olah mandiri yang mensubsidi, tidak. Yang pemerintah (malah) mensubsidi pasien BPJS mandiri karena pemakaiannya sudah di atas 400%. Itu data, klaim rasionya sudah melebihi platformnya," pungkasnya.

 

Selanjutnya, dicontohkan Terawan pelayanan berlebihan, seperti, sectio caesarea atau operasi sesar untuk ibu melahirkan tercatat sangat tinggi yakni Rp 260 triliun pada 2018. Selain itu, biaya pengobatan sakit jantung juga mencapai Rp 10,5 triliun di tahun yang sama.

"Artinya apa? Terjadi pemborosan yang luar biasa untuk yang tidak seharusnya dilakukan tindakan, (malah-red) melakukan tindakan," tuding Menkes Terawan.

BPJS Kesehatan sendiri sejak lama mengeluhkan besarnya biaya pada beberapa jenis tindakan. Pengobatan katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik disebut mencatatkan pengeluaran yang sangat besar.

Baca Juga: Terapi Jeruk Nipis Selain Untuk Kecantikan Kulit, Ternyata Juga Bermanfaat Untuk Otak dan Mata

"Operasi katarak mencapai 2,6 triliun. Bayi sehat yang ditagihkan secara terpisah dari ibunya sekitar 1,1 triliun. Rehabilitasi medik 960 miliar.

Angka itu melebihi kasus katastropik, seperti jantung, gagal ginjal," kata Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief, berkomentar saat menanggapi kontroversi Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) beberapa waktu lalu.

Menkes Terawan menilai, pelayanan bagi pasien seharusnya dilakukan dengan optimal, bukan maksimal.

Baca Juga: Korban Vape Pertama di AS, Dokter Sampai Lakukan Transplantasi Paru-paru Ganda

Pelayanan yang maksimal bukan tidak mungkin malah merugikan atau bahkan membahayakan nyawa pasien.

"Kanker juga begitu. Jangan stadium 1 dikemo sistemik. Ya matinya bukan karena kankernya, tapi obat-obatnya yang berlebihan. Itulah namanya jangan maksimal, tapi optimal," sebut Menkes. (*)