GridHEALTH.id - Pakar genetika molekular, Kate Broderick, adalah salah satu peneliti di balik 44 proyek yang berusaha mengembangkan vaksin Covid-19 di seluruh dunia.
Broderick merupakan anggota tim ilmuwan di Inovio, perusahaan bioteknologi berbasis di Amerika Serikat. Mereka memiliki target memproduksi satu juta dosis vaksin Covid-19 awal Desember 2020 mendatang.
Tapi Broderick, ilmuwan asal Skotlandia yang saudara perempuannya bekerja sebagai perawat di Layanan Kesehatan Inggris (NHS), selalu punya pertanyaan yang kerap berkecamuk di kepalanya.
"Saudara saya bergelut setiap hari untuk menolong orang-orang yang terjangkit penyakit ini. Jadi betul, saya mencemaskan ketersediaan vaksin ini untuk setiap orang," ujar Broderick kepada BBC. "Kami harus segera memastikan ketersediaannya," lanjut dia.
Bagaimanapun saat ini sudah muncul kekhawatiran bahwa solusi yang ditawarkan Inovio bakal dikuasai negara-negara kaya.
Kekhawatiran tentang potensi 'ketimpangan imunisasi' itu diutarakan pakar epidemologi, Seth Berkley, CEO Vaccine Alliance (Gavi).
Baca Juga: Positif Kena Virus Corona? Ini Peluang Sembuh Tidaknya Menurut Pakar Kesehatan Inggris
Baca Juga: Patut Ditiru, Kebiasaan Orang Jepang Hingga Bisa Menahan Laju Pandemi Virus Corona
Organisasi yang dipimpin Berkley adalah sebuah kemitraan bidang kesehatan global antara organisasi publik dan swasta yang bermisi meningkatkan akses imunisasi di 73 negara termiskin di dunia. Salah satu anggota kemitraan tersebut adalah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Kita harus membicarakannya sekarang, walau belum ada vaksin Covid-19 yang tersedia," ujar Berkley kepada BBC.
"Tantangannya adalah memastikan ada cukup vaksin bagi orang-orang yang membutuhkannya, baik di negara kaya maupun miskin."
"Tentu saja saya cemas. Perbuatan negatif kerap muncul terhadap komoditas yang jumlahnya terbatas. Kita harus mengambil strategi yang tepat," kata dia.
Ketakutan Berkley bukannya tidak berasalan. Ketimpangan terjadi dalam penyebaran sejumlah vaksin penyakit sebelumnya.
Belakangan, koran Jerman, Welt Am Sontag, mengutip pejabat tinggi yang menyebut Presiden AS, Donald Trump, berusaha memastikan akses eksklusif bagi warga negaranya terhadap vaksin yang tengah dikembangkan perusahaan bioteknologi CureVac.
Namun pendekatan Trump terhadap perusahaan asal Jerman itu dikabarkan gagal.
Baca Juga: Dua Peneliti Universitas Airlangga Temukan Suplemen Lawan Virus Corona
Baca Juga: Studi: Virus Corona Ternyata Paling Menular di Minggu Pertama Gejala
Salah satu contoh nyata ketimpangan imunisasi terjadi dalam vaksin Hepatitis B, sebuah virus yang bertanggung jawab menyebabkan kanker hati, yang menurut WHO, daya infeksinya 50 kali lebih tinggi ketimbang HIV.
Pada 2015, diperkirakan 257 juta orang di seluruh dunia mengidap Hepatitis B. Imunisasi untuk menangkal penyakit mulai tersedia di negara-negara maju tahun 1982.
Namun pada tahun 2000, kurang dari 10% negara termiskin di dunia memiliki akses terhadap vaksin.
Didirikan tahun 2000 oleh Bill dan Melinda Gates, Gavi secara signifikan mengurangi ketimpangan itu.
Upaya itu digenjot melalui kesepakatan antara pemerintah berbagai negara dan perusahaan farmasi.
Pihak yang juga berperan penting adalah Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (Cepi) yang berbasis di Norwegia dan dibentuk tahun 2017. Mereka membiayai penelitian dan pengembangan vaksin dengan donasi publik dan swasta.
Baca Juga: 8 Ramuan Alami Ini Mampu Legakan Radang Tenggorokan di Musim Hujan
Baca Juga: Simak 5 Khasiat Minyak Calendula Untuk Mengatasi Masalah Kulit
"Sebagaimana diperlihatkan Covid-19, penyakit menular mengabaikan batas politik. Kita tidak bisa mencegah atau menghentikan ancaman penyakit menular tanpa akses yang adil terhadap vaksin," demikian pernyataan tertulis Cepi.(*)
#berantasstunting #hadapicorona