Find Us On Social Media :

Salah Treatment di Rumah Sakit, Otak Bayi Usia Beberapa Hari Terinfeksi Bakteri yang Hidup di Tanah

Ilustrasi-otak terinfeksi bakteri

GridHEALTH.id - Kisah berikut adalah kesaksian dari kejadian nyata yang dikisahkan langsung oleh seorang ibu yang sangat menyayangi buah hatinya, kepada penulis.

Beliau adalah Ardi Wibowo, ibu pintar, kuat, dan tabah menghadapi semua ujian yang diberikan Allah SWT kepadanya.

Berikut sharing beliau yang bisa kita petik hikmah dan pelajarannya.

Seperti diceritakan Ardi Wibowo kepada penulis, anak keduanya lahir prematur di usia kehamilan 35 minggu.

Baca Juga: Tak Perlu Keluar Rumah, Jaga Daya Tahan Tubuh Saat Pandemi dengan Lakukan 5 Kebiasaan Ini

Sedihnya saat proses persalian baru diketahui jika anak yang akan lahir terlilit tali pusar dan plasenta mengalami pengapuran.

Singkat cerita menurut Ardi Wibowo, anak kedua lahir dengan APGAR score cukup baik.

Tapi, karena plasenta mengalami pengapuran jadinya si kecil harus dirawat di NICU. "Sayangnya, RS tempat saya melahirkan tidak memiliki NICU, sehingga si kecil harus dipindahkan ke RS lain di Jatinegara yang memiliki NICU dan dokter anak ahli bayi prematur yang andal."

Baca Juga: Khawatir Penularan Virus Corona, Bolehkan Memberi Jeda Imunisasi pada Anak?

Saat proses pemindahan bayi ke rumah sakit lain, Ardi Wibowo tidak tahu kondisi bayinya. "Tapi dari suami, saya tahu, anak kami saat tiba di RS tersebut sudah dalam keadaan berhenti napas, sehingga harus mendapat alat bantu napas."

Sejak saat itu Ardi Wibowo pisah rumah sakit dengan anak keduanya.

Singkat cerita, hari ke-4 pascapersalinan, "Saya baru pulih dan diizinkan melihat si kecil yang dirawat di RS lain. Menurut dokter anak yang menangani, anak kami berhenti napas ketika sampai di RS karena kekurangan suplai oksigen dalam proses transfer. Penyebabnya, oksigen yang disediakan dalam proses transfer tidak sepadan dengan yang dibutuhkan."

Baca Juga: Catat! Inilah Kriteria Pasien Corona yang Bisa Klaim Biaya Pengobatan Covid-19

Baca Juga: Pemerintah Berencana Buka Sekolah Tatap Muka Kembali, Padahal Kematian Anak Indonesia Akibat Covid-19 Tertinggi di ASEAN

Karenanya pihak RS segera melakukan tindakan penyelamatan dengan memberikan respirator atau alat bantu napas, sekalipun berisiko pecahnya pembuluh darah otak yang akhirnya menyebabkan hidrosefalus.

Satu-satunya cara mengatasi dengan pemasangan VP Shunt (Ventricular Shunt), selang yang dapat mengalirkan cairan otak sehingga tak terjadi penumpukan cairan otak di kepala.

Tapi hal itu tak bisa segera dilakukan, mengingat bayi masih sangat lemah untuk menjalani operasi.

Akhirnya di hari ke-13 dilakukan pemasangan VP shunt. Operasi berjalan lancar.

"Alhamdulillah. Beberapa hari setelah itu dilakukan pengecekan cairan otak sebagai salah satu prosedur tambahan. Ternyata, cairan otaknya mengalami infeksi. Kami pun kaget. Bagaimana kuman bisa masuk ke dalam cairan otak yang terkurung oleh tempurung kepala?"

Baca Juga: Pasangan Pengantin Positif Covid-19 Nekat Gelar Pernikahan, Penghulu Sampai Saksi Kenakan APD Lengkap

Saking syoknya, lanjut Ardi Wibowo, dirinya jadi tidak terlalu banyak bertanya dan memercayakan semua prosedur yang akan dilakukan kepada dokter.

Dokter bedah saraf memasukkan obat untuk menyembuhkan infeksi tersebut dengan menyuntikkannya ke klep VP shunt.

"Tapi setelah dilakukan prosedur itu beberapa kali, kondisi anak kami tidak semakin membaik dan infeksi masih tetap ada."

Singkat crita, dua bulan sudah anak Ardi Wibowo berada di ICU denggan kondisi hidrosefalus yang tak terpecahkan, yang akhirnya dokter menganjurkannya membawa si kecil berobat ke luar negri.

"Dia merasa dokter-dokter di Indonesia belum berhasil menanganinya, apalagi anak kami mulai mengalami kejang secara berkala dan itu dapat memperburuk kondisinya," papar Ardi Wibowo. BEROBAT KE SINGAPURA

Singkat cerita, berkat bantuan keluarga besar, Ardi Wibowo menemukan dokter yang tepat di National University Hospital (NUH) di Singapura.

Baca Juga: Ternyata Hati Sapi Paling Padat Nutrisi! Ini Cara Memilih hingga Mengolahnya Agar Tak Keras dan Bau

Baca Juga: Menteri Agama Fachrul Razi Beri Kabar Gembira, Salat Idul Adha Boleh Diselenggarakan saat Pandemi Covid-19, Asal dengan Syarat Ini!

Setelah semua berkas dan hasil CT scan dikirim ke Singapura, dokter saraf anak di sana, Prof. Low Poh Sim, menganjurkan segera datang kesana.

Pada 10 Maret 2006, Ardi Wibowo berhasil membawa anak keduanya ke Singapura.

"Entah mengapa, saat itu saya merasa, inilah jalan Allah swt untuk si kecil. Jadi, saat berangkat hingga tiba di sana, kami begitu yakin akan terjadi kemajuan dan kesembuhan bagi si kecil."

Sesampainya di NUH, langsung dibawa ke bangsal perawatan anak. Segalanya sudah disiapkan dengan baik, kamar dan para perawat sudah menunggu.

Prof. Low Poh Sim hadir lengkap dengan tim dokter dan seorang dokter bedah saraf yang bernama Prof. Chou Ning.

Baca Juga: Rahasia Santri Positif Corona di Pondok Gontor 2 Cepat Sembuh, Meski Jumlahnya Sempat Melonjak

Mereka mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan anak si kecil, agar dapat menyiapkan waktu yang tepat untuk melakukan operasi pada hari itu juga.

"Sungguh, kami sangat terkesan dan kaget melihat cara kerja mereka. Hanya dalam hitungan jam setelah mendarat di Singapura, anak saya sudah berada di kamar operasi dan mendapatkan penanganan terbaik. Operasi berlangsung sekitar dua jam dan anak kami langsung masuk ICU. Tampak selang-selang keluar dari kepalanya di bagian kiri dan kanan yang terhubung dengan tabung-tabung, namanya EVD (External Ventricular Drain). Jadi, mereka meneluarkan VP Shunt-nya dan mengganti dengan EVD untuk membersihkan cairan otak yang terinfeksi."

Beberapa hari setelah operasi, Prof. Low Poh Sim dan Prof. Chou Ning memberitahukan hasil kultur cairan otak (CSF) yang mereka lakukan.

Menurut mereka, cairan otak anak saya terkontaminasi oleh bakteri Burkholderia Cepacia. Bakteri ini amat sangat tidak mungkin bisa masuk kedalam cairan otak Rayhana kecuali pada saat tindakan operasi atau proses penyuntikan obat ke kepalanya itu dilakukan, karena bakteri tersebut biasanya hidup di dalam tanah.

Baca Juga: Tingkat Kesembuhan Covid-19 Lebih dari 50 Persen, Presiden Jokowi: 'Penanganan Kesehatan Tidak Boleh Mengendur Sedikit Pun'

"Bukan hanya saya dan suami serta mertua yang kaget bukan kepalang, tetapi juga kedua profesor itu. Prof. Chou Ning mengatakan, pengobatan melalui penyuntikan ke kepala yang pernah dialami anak saya di Indoensia itu salah, seharusnya tidak dilakukan."

Sebenarnya, lanjut Ardi Wibowo, infeksi saat operasi/tindakan mungkin saja terjadi, tetapi jenis bakteri yang masuk itulah yang membuat semuanya kaget, karena bakteri tersebut tidak seharusnya ada di suatu lingkungan steril, apalagi rumah sakit.

Walaupun demikian, beber Ardi Wibowo, hal tersebut fakta menakutkan yang harus kami terima, tapi kami tak mau berpikir ke belakang, melainkan langsung fokus ke depan dan bekerja sama dengan para tim dokter di NUH untuk memberikan perawatan terbaik bagi anak kami. ALAMI HAMBATAN PERTUMBUHAN

Karena suami dan mertua harus kembali ke Jakarta, menurut Ardi Wibowo maka selama si Singapura hanya saya bersama si kecil.

Singkat cerita, dari Maret 2006 sampai Juni 2007, Rayhana mengalami 13 kali operasi. baik yang berhubungan dengan EVD, VP Shunt, ataupun pemasangan kateter untuk memasukkan obat ke dalam badannya yang diakibatkan oleh pembuluh darah yang sudah tidak memadai untuk dipasangkan infus.

Setelah Rayhana pulang ke Jakarta, Ardi Wibowo dan suami, juga keluarga menjadi amat sangat hati-hati dengan kondisinya.

Baca Juga: 3.000 Dokter dan Perawat, 12.000 Pasien, 176 Rumah Sakit di Inggris Dilibatkan Untuk Menemukan Obat Covid-19 Murah

Baca Juga: Alih-alih Hindari Virus Corona, Bayi Pakai Masker Full Face Ini Bisa Alami Berbagai Gangguan Kesehatan

Gyanti sebagai kakak juga sangat membantu dalam mengurus Rayhana.

Dengan kondisi kerusakan otak yang diakibatkan oleh infeksi bakteri yang pertama, Rayhana mengalami hambatan dalam pertumbuhan sensorik dan motorik.

Prof. Low Poh Sim sudah menjelaskan, akan sulit untuk Rayhana hidup secara normal. Berdasarkan fakta medis, dia tidak akan tumbuh dan berkembang seperti anak-anak seusianya, sekalipun tubuhnya akan tumbuh besar secara normal.

"Sekarang kami sudah ikhlas dengan kondisi tersebut. Dengan selamatnya Rayhana saja sudah merupakan mukjizat bagi kami sekeluarga.

Tiga belas kali operasi untuk anak usia 1 tahun itu luar biasa sekali. Allah swt memberikan sebegitu besar kekuatan kepada anak saya dengan segala komplikasi yang ada untuk tetap bertahan hidup.

Baca Juga: Update Covid-19 di Jember; Ambulan PMI Kini Antar 5 Jenazah Dalam Sehari, Biasanya Hanya 2 Pasien

Dia sudah bisa mengalami ini semua, masa kami tidak bisa? Walaupun sulit, kami berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi Rayhana."

Demi kebaikan perkembangannya, Ardi Wibowo mendatangkan terapis ke rumah untuk membantu dia belajar berjalan, berdiri, dan melemaskan otot-otonya. Terapi akupunktur dan pijat refleksi juga dijalani.

Hasilnya, perkembangan Rayhana semakin baik, meski mungkin tidak banyak berarti bagi awam. "Tapi bagi kami, Rayhana bisa merayap 20 cm lebih jauh sudah luar biasa. Bisa memilih di antara dua barang yang dia sukai ataupun bisa membuka dan menutup lemari, bisa memeluk kami ketika diminta, kiss bye ketika kami pamit sama dia, ataupun tertawa kegirangan ketika berhasil menendang kursi yang ada di dekatnya, itu sudah merupakan keajaiban bagi kami."

Dokter anak di Jakarta yang menyarankan kami membawa Rayhana ke Singapura pun takjub dengan perkembangannya.

Baca Juga: Ubah Pola Hidup, Susu Kental Manis yang Dianggap Masyarakat Sebagai Pemenuhan Gizi Justru Memicu Obesitas hingga Penyakit Jantung

Menurut beliau, kasus anak seperti Rayhana di Indonesia, survival rate-nya hampir tidak ada. Menurut beliau, ini seperti suatu pembelajaran baru dimana bisa melihat hasil gabungan dari teknologi dan ilmu pengetahuan serta dedikasi tinggi yang dilakukan oleh dokter-dokter di Singapura.

Dari pengalaman Rayhana, Ardi Wibowo sekeluarga mendapat satu hikmah penting, yang sepertinya bermanfaat untuk semua orangtua, yaitu: kita harus kritis dan mau belajar akan kondisi yang dialami.

Setiap treatment/tindakan yang dilakukan, kita harus tahu sebab dan akibatnya.

Banyak bertanya kepada dokter dan suster serta mengamati dalam prosesnya, karena pada dasarnya dokter hanyalah seorang manusia dan bisa luput dari kesalahan.(*)

Baca Juga: Update Covid-19; Persentase Kesembuhan Pasien Covid-19 di Indonesia Terus Meningkat, Capai 56.655 dari 98.778 Kasus

#berantasstunting

#HadapiCorona 

Artikel ini sudah publish di Tabloid Nakita dan Nakita.id dengan judul Gara-gara Salah Treatment di Rumah Sakit, Anakku Cedera Otak