GridHEALTH.id - Maraknya klaim obat herbal yang ampuh menyembuhkan virus corona (Covid-19) dalam waktu singkat memang membuat banyak masyarakat resah.
Bagaimana tidak, klaim obat Covid-19 yang belum teruji secara klinis tersebut juga banyak disebarkan oleh para tokoh publik.
Salah satunya seperti kasus musisi Anji dan pengklaim obat herbal Covid-19 Hadi Pranoto yang kini sudah masuk ranah hukum.
Dalam kasus ini diketahui Anji sebagai Youtuber diduga menyebarkan klaim palsu lantaran obat Covid-19 temuan Hadi Pranoto belum teruji klinis.
Diketahui untuk menilai efektivitas dan keamanan suatu produk seperti obat maupun vaksin, perlu dilakukannya uji klinis, disamping pengujian pada hewan atau uji pra-klinis.
Baca Juga: Wali Kota Malang Kumpulkan Tokoh Agama, Cegah Pengambilan Paksa Jenazah Covid-19
Menurut Mayo Clinic, uji klinis merupakan tahap akhir dari penelitian yang dilakukan kepada manusia.
Dimana orang yang menjadi sampel bisa sampai ribuan atau puluhan ribu, serta waktu yang dibutuhkan pun tidak sebentar bahkan bisa bertahun-tahun.
Melihat kejadian tersebut, tahukah sebuah penelitian dari Reuters Institute di Oxford University menunjukan bahwa tokoh publik seperti influencer maupun politisi ternyata berperan besar dalam menyebarkan berita hoaks atau klaim palsu terkait Covid-19.
Baca Juga: Bantuan Pemerintah di Masa Pandemi Covid-19 Selain Bansos dan BLT; Ada Subsidi Hingga Listrik Gratis
Dalam laporan yang terbit bulan April, peneliti untuk studi jurnalisme menemukan bahwa 20 % selebriti, politisi, dan tokoh publik lainnya bertanggung jawab atas penyebaran klaim palsu virus corona.
Sementara itu, 69 % klaim mereka beredar di sosial media.
Baca Juga: Vaksin Covid-19 Pertama di Dunia, Sputnik-V Tawarkan Kekebalan Berkelanjutan
Kondisi memunculkan kekhawatiran bahwa klaim palsu atau disinformasi yang beredar di internet akan berdampak pada kesehatan masyarakat di dunia nyata.
Disinformasi yang dilakukan tokoh publik dengan jutaan pengikut di Twitter, Instagram, atau YouTube, akan berdampak pada pemahaman masyarakat tentang virus corona.
Sering kali, disinformasi menjangkau lebih banyak orang dibanding media berita umum.
Baca Juga: Jadwal Pencairan BLT untuk Karyawan Bergaji 5 Juta atau Lebih Kecil, Jokowi; 2 Pekan Lagi Cair!
"Kelompok ini (politisi, selebriti, dan tokoh publik) punya jangkauan luas untuk konten yang mereka sebarkan," kata Scott Brennen, peneliti di Reuters Institute dilansir The Guardian, (8/4/2020).
"Ada banyak klaim palsu tentang kebijakan dan tindakan otoritas publik terkait virus corona. Namun, kami melihat juga banyak informasi yang salah dari sisi medis," imbuhnya.
Peneliti di Reuters Institute mengimbau masyarakat agar tidak meremehkan pengaruh klaim palsu yang disebarkan sekelompok orang di sosial media.
Pasalnya, orang-orang yang menyebarkan klaim palsu tampaknya memiliki banyak alasan untuk berbagi informasi yang salah di manapun.
Baca Juga: Perdana Menteri Selandia Baru Rayakan 100 Hari Tanpa Kasus Covid-19 Baru, Ini Rahasianya
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Dr Daniel Allington, dosen senior dalam kecerdasan buatan sosial dan budaya di King's College London mengatakan, ada hubungan erat antara orang yang meyakini klaim palsu dengan orang yang abai dan tidak memedulikan pedoman pencegahan Covid-19 seperti menjaga jarak, cuci tangan, dan pakai masker.
Temuan Allington berdasarkan studi eksperimental bekerja sama dengan Center for Countering Digital Hate.(*)
#berantasstunting
#hadapicorona