Pasalnya, studi tersebut hanya mengandalkan laporan dari responden dalam medio 1992 sampai 2010.
Para responden melaporkan frekuensi ejakulasi per bulan dan apakah mereka mengidap kanker prostat atau tidak.
Penelitian tersebut dianggap belum menyakinkan karena mengandalkan laporan dari responden, bukan dari pengamatan laboratorium terkontrol.
Baca Juga: Tolak Mentah-mentah Tes Covid-19, Jerinx Jalani Rapid Test hingga Cuci Tangan Sebelum Ditahan
Sehingga, ada kemungkinan hasilnya belum cukup akurat karena responden bisa saja tidak jujur melaporkan frekuensi ejakulasinya.
Studi yang lain pada 2004 juga berupaya membuktikan kaitan frekuensi sperma keluar dengan risiko kanker prostat.
Baca Juga: Dipertanyakan Relawan, MUI dan Bio Farma Akan Rumuskan Kehalalan Vaksin Produksi China - Indonesia