Tak Selamanya Rapid Test Dianggap Tidak Akurat, Ini Penjelasan Ahli

Rapid test

Rapid test

Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena di awal pandemi dulu, PCR masih jarang.

Seperti diketahui, di awal masa pandemi, ketersediaan laboratorium yang memeriksa sampel dahak, lendir, atau cairan untuk mendeteksi virus corona penyebab Covid-19 bisa dihitung jari sebelah tangan.

Sementara yang ada saat itu adalah rapid test antibodi.

Maka, disusunlah suatu alur untuk dapat diterapkan.

“Bila memang ada gejala, masuk kriteria orang dalam pantuan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), maka dilakukan tes awal dengan tes antibodi dulu. Baru apabila reaktif, diteruskan dengan PCR,” papar dia.

Baca Juga: Akui Ada Keterlambatan Input Data, Epidemiolog: Data Covid-19 yang Disampaikan Satgas Tidak Pernah Tepat

Tapi, dr. Tonang menilai, ada yang luput terjelaskan atau terlanjur salah paham.

Bila memang tersedia pemeriksaan PCR, seharusnya bisa langsung PCR atau tidak lewat tes antibodi dulu.

Bila terpaksa tidak ada PCR, baru bisa digunakan tes antibodi dulu.

Dia membeberkan, anggapan salah kaprah berikutnya yang terjadi adalah soal hasil rapid test reaktif pasti positif Covid-19.

Padahal, bila tes antibodi reaktif, seseorang belum tentu positif Covid-19.

“Untuk menyatakan positif, tetap harus dikonfirmasi dengan PCR. Baru jelas, seseorang positif atau negatif Covid-19. Baru jelas apa tindak lanjutnya,” jelas dia.