Find Us On Social Media :

Hanya di Indonesia, Apapun Sakitnya Obatnya Antibiotik, Tahu Apa Bahayanya?

Hanya di Indonesia antibiotik menjadi obat dewa. Apapun sakitnya, obatnya antibiotik.

 

GridHEALTH.id - Obat antibiotik sudah sangat akrab sekali dengan masyarakat Indonesia.

Sampai-sampai ada yang menyebut, di Indonesia apapun sakitnya antibiotik menjadi salah satu obatnya.

Sebutan atau yang tepatnya sindiran itu sampai ada, mungkin banyak sakit yang diderita masyarakat langsung diobati dengan antibiotik.

Tapi seperti itulah faktanya di Indonesia, berobat ke layanan kesehatan, antibiotik kerap menjadi obat yang dibawa pulang.

Sampai-sampai ada juga yang mengatakan, orang Indonesia jika berobat ke luar negeri, protes karena tidak dikasih antibiotik oleh dokternya.

Sebaliknya orang asing berobat di Indonesia juga protes, kenapa antibiotik menjadi obat yang harus diminum.

Mengenai antibiotik di Indonesia, sampai-sampai detik.com membuat artikel dengan judul 5 Antibiotik yang Paling Ngetop Sering Dipakai Masyarakat (2/9/2012.

Baca Juga: 7 Fakta Vaksin Gotong Royong yang Tidak Banyak Diketahui, Ternyata Taktik Pemerintah

Selain itu, asal tahu saja, antibiotik yang jelas-jelas obat etikal alias beresep atau harus dibeli dengan resep dokter, di Indonesia faktanya bisa dibeli dengan bebas seperti obat OTC.

Malah antibiotik di Indonesia diperjual belikan bebas di toko obat/apotek online.

Padahal antibiotik tidak bisa sembarangan dikonsumsi. Pun antibiotik hanya bisa untuk membunuh atau mengobati penyakit yang disebabkan infeksi bakteri.

Jadi antibiotik itu bukan obat dewa, yang bisa menyembuhkan semua jenis dan macam penyakit manusia di Indonesia.

Melansir Farmalkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (20/4/2016) pada artikel edukasi dengan judul 'Pasien Cerdas, Bijak Gunakan Antibiotik', disebutkan dengan tegas bahwa antibiotik adalah obat untuk mencegah dan mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Baca Juga: 9 Kelompok Obat Diabetes Terkenal, Ini Efek Samping, Keuntungan, dan Kerugiannya

Sebagai salah satu jenis obat, antibiotika banyak beredar di masyarakat. Hanya saja, masih ditemukan perilaku yang salah dalam penggunaan antibiotika yang menjadi risiko terjadinya resistensi antibiotik, diantaranya: peresepan antibiotik secara berlebihan oleh tenaga kesehatan; adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa antibiotik merupakan obat dari segala penyakit; dan lalai dalam menghabiskan atau menyelesaikan treatment antibiotik.Masyarakat tidak boleh membeli antibiotik sendiri tanpa ada resep dari dokter.

Apabila sakit harus berobat di fasilitas pelayanan kesehatan.

Antobiotik harus diminum sampai tuntas dan teratur sesuai anjuran dokter, tegas drg. Oscar di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Selasa sore (19/4).

Baca Juga: 3 Tanda Penyakit Infeksi Covid-19 yang Dialami Semakin Memburuk dan Berbahaya

Itu pun jika benar sakit yang diderita karena bakteri. Jika bukan, walau diresepkan jangan ditebus dan diminum antibiotiknya.

Ini harus ditegakan, sebab khawatir terjadinya era post antibiotic, dimana penyakit sederhanya yang sebenarnya bisa disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya, jelas dr. Dewi dalam kegiatan  media briefing bertajuk One Heath Approach: Strategi Kurangi Maraknya Bakteri Kebal Antibiotik yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta, selasa pagi (19/4).Jika masalah resistensi antibiotika tidak segera ditangani, para pakar memperkirakan bahwa pada tahun 2050, lebih kurang 10 juta orang di dunia meninggal karena resistensi antibiotika.Resistensi antibiotika mengakibatkan biaya kesehatan menjadi lebih tinggi karena penyakit lebih sulit diobati; butuhkan waktu perawatan yang lebih lama; dan membawa risiko kematian yang lebih besar, tambah dr. Dewi.

Baca Juga: Anak Buah Anies Baswedan Positif Covid-19 Padahal Sudah Divaksin, Balai Kota DKI Jakarta Dilockdown

Sementara itu, anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. dr Kuntaman, MS., Sp.MKK, mengatakan, masyarakat harus memahami, demam memang tanda adanya infeksi di dalam tubuh.

Namun, tidak semua infeksi disebabkan oleh bakteri, sehingga tidak semua infeksi membutuhkan antibiotika.Semisal pasien patah tulang karena kecelakaan, demam (panas) badannya. terapinya analgesik dan antipirektik, bukan antibiotik.

Baca Juga: Menkes Budi Gunadi; Ledakan Kasus Covid-19 Diprediksi Akhir Juni, Pemerintah Sudah Antisipasikah?

Contoh lain, bakteri E-coli di tubuh kita dalam jumlah tertentu bermanfaat, namun bila jumlahnya terlalu banyak menyebabkan diare. Jika benar karena itu, boleh gunakan antibiotik, meskipun sebenarnya diare ada yang butuh antibiotik ada juga yang tidak, tutur Prof. Kuntaman.

Mengenai penggunaan antibiotik sendiri sebenarnya sudah diatur pemerintah. Melansir kebijakankesehatanindonesia.net, dalam artikelnya 'Menkes: Penggunaan Obat Antibiotik Berlebihan', disebutkan pembatasan penggunaan antibiotik sudah ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.

Namun, fakta di lapangan penggunaan dan penjualan obat antibiotik masih berlebihan.Kondisi ini tantangan tak hanya bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi kesehatan, termasuk masyarakat untuk ikut mengawasi penggunaan obat antibiotika agar tidak menimbulkan bencana di masa depan.

Baca Juga: Sempat Dihentikan Usai 3 Orang Dikabarkan Meninggal, Satgas: Vaksin Covid-19 AstraZeneca Aman Digunakan

Penyalahgunaan antibiotik pun tak hanya pada manusia tapi juga pada hewan.

Pengusaha sering menggunakan antibiotik untuk membuat hewannya gemuk. Ini jelas melanggar peruntukkan obat antibiotik.

Ingat, penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Baca Juga: 6 Penyebab Munculnya Bercak Pada Trimester Pertama Pada Ibu Hamil

Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya kuman Streptococcuspneumoniae(SP), Staphylococcusaureus, dan Escherichiacoli.Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, seperti; Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci ( VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-SpectrumBeta-Lactamase (ESBL), Carbapenem Resistant Acinetobacterbaumannii dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis.(*)

Baca Juga: 2 Komplikasi Diabetes yang Paling Mengerikan, Tapi Bisa Dihindari