GridHEALTH.id - Runtin konsumsi obat penurun berat badan?
Memang banyak yang ketagihan dengan obat penurun berat badan.
Baca Juga: Dalam Sehari Ada 11 Ribu Pasien Dinyatakan Sembuh, Yakin Kasus Covid-19 di Indonesia Melandai?
Tapi tahukah, dibalik itu semua ada bahaya yang mengintai? Terlebih jika mengonsumsi obat penurun berat badan tidak diawasi oleh dokter.
Mereka yang rutin mengonsumsi obat penurun berat badan berisiko mengalami hipertensi pulmonal.
Memang tidak banyak yang mengetahui mengenai hipertensi pulmonal ini.
Hipertensi pulomonal ini berbeda dengan hipertensi yang biasa kita ketahui, alias hiperteni sistemik.
Hipertensi pulmonal disebabkan oleh tekanan darah tinggi di pembuluh darah arteri organ paru.
Baca Juga: Penuhi Asupan Gizi Seimbang Anak, Ini 5 Makanan Padat Nutrisi Wajib Ada
Jadi yang membedakan hipertensi pulmonal dan hipertensi sistemik adalah, pada hipertensi sistemik tekanan di pembuluh darah arteri di seluruh tubuh lebih tinggi dari normal.
Sedangkan pada hipertensi pulmonal, tekanan pembuluh darah yang tinggi hanya berada pada pembuluh darah yang berada di organ paru.
Pembuluh darah tersebut dapat menjadi kaku, rusak, sempit, sehingga bagian jantung kanan harus bekerja lebih keras untuk memompa darah.
Adapun gejala hipertensi sitemik dan hipertensi pulmonal mirip.
Pada hipertensi pulmonal, gejala awalnya bisa berupa sesak napas, kelelahan/fatigue, nyeri dada, bengkak pada kedua kaki, berdebar-debar, pusing/light-headedness.
Penyebab hipertensi pulmonal, bisa karena penyakit jantung kongenital (penyakit jantung bawaan), penyakit paru kronis, penyumbatan pembuluh darah di paru, penyakit jantung koroner (PJK), penyakit liver (sirosis), dan tekanan darah tinggi.
Baca Juga: Mengalami Diabetes Selama Kehamilan Bisa Berisiko Kena Gangguan Jantung
Menurut dr. Desilia Atikawati, Sp.P, Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan dari RS Pondok Indah – Puri Indah, saat diwawancara GridHEALTH.id menyatakan, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada segala usia, termasuk anak-anak, insidensinya pun meningkat sesuai usia.
Hipertensi pulmonal lebih sering didiagnosis pada usia 30-60 tahun.
Hal lain yang dapat meningkatkan risiko hipertensi pulmonal adalah "riwayat keluarga yang menderita hipertensi pulmonal, berat badan berlebih, gangguan pembekuan darah atau riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah di paru, pajanan asbestos, penyakit genetik (termasuk penyakit jantung bawaan), tinggal di dataran tinggi, penggunaan obat-obatan penurun berat badan tertentu, penggunaan obat terlarang, penggunaan obat SRRI untuk mengatasi depresi atau kecemasan," papar Desilia.
Baca Juga: Tanda-tanda Otentik Hamil Trimester 1 Aerola dan Puting Payudara Berubah Seperti Ini
Satui hal yang harus diperthatikan, seperti dipaparkan Desilia, penderita hipertensi pulmonal jika tidak ditangani dengan baik, risiko kematian dapat meningkat.
Penderita dapat mengalami gagal jantung kanan, pembekuan darah, gangguan irama jantung, perdarahan di paru, serta berbagai komplikasi pada kehamilan.
"Pada umumnya hipertensi pulmonal adalah penyakit kronis, namun ada kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal terjadi secara akut,' ucap Desilia.
Sayangnya hingga saat ini belum ada obat khusus untuk menangani hipertensi pulmonal.
Namun, ada berbagai terapi yang mampu meringankan kondisi tersebut, seperti obat inhalasi, terapi oksigen, obat-obatan untuk membuka pembuluh darah paru, serta obat-obatan untuk menurunkan pembengkakan.
Baca Juga: Gedung Sate Dilockdown Mendadak, 32 Pegawai Positif Covid-19, Lagi-lagi Efek Libur Lebaran
Untuk itu pemeriksaan seksama dengan alat bantu medis pada mereka yang berisiko baiknya rutin dilakukan.
Hal ini berkenaan karena hipertensi pulmonal sulit didiagnosis secara dini, karena seringkali tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik rutin.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain: foto toraks, ECG, dan echokardiografi.(*)
Baca Juga: 7 Cara Atasi Penyakit Infeksi Saluran Kemih Setelah Melahirkan