Find Us On Social Media :

Apa yang Dialami Raditya Oloan Dirasakan Deddy Corbuzier, Badai Sitokin Merusak Paru-paru Hingga 60 Persen Setelah Nagtif Covid-19

Raditya Oloan dan Deddy Corbuzier. Sama-sama mengalami Badai Sitokin setelah negatif Covid-19.

GridHEALTH.id - Kondisi kesehatan kritis akibat badai sitokin alias Cytokine Storm, beberapa hari ini kembali menjadi perhatian publik.

Awal badai sitokin banyak dibicarakan dan dicari informasinya saat meninggalnya artis Raditya Oloan.

Raditya Oloan kritis dan masuk ICU di rumah sakit saat jalani perawatan Covid-19, setelah dirinya negatif Covid-19.

Baca Juga: Wali Kota Bekasi Buat Racikan Sendiri Untuk Menangkal Covid-19

Menurut informasi dari sang istri, Joana Alexandra, kondisi Raditya Oloan menurun salah satunya karena hiperinflmasi yang disebabkan oleh badai sitokin alias Cytokine Storm.

"Kondisinya post-covid dengan komorbid asma, and he is going through a cytokine storm (badai sitokin) yang menyebabkan hyper-inflammation in his whole body," terangnya. "Ditambah lagi ada infeksi bakteri yang lumayan kuat," papar Joana Alexandra.

Badai sitokin ini pula yang beberapa waktu dialami oleh Deddy Corbuzier.

Deddy menceritakan bahwa dirinya hampir meninggal dunia meski sudah dinyatakan negatif Covid-19.

"Saya sakit.. Kritis, hampir meninggal karena badai Cytokine, lucunya dengan keadaan sudah negatif. Yes it's covid," tuturnya.

Deddy mengaku paru-parunya rusak parah dan mengalami badai sitokin.

Baca Juga: Satu Tahun yang Menentukan Bagi Perkembangan Otak Bayi, Tapi Bagaimana Kalau di Rumah Saja Gara-gara Lockdown?

"Tanpa gejala apapun tiba tiba saya masuk ke dalam badai Cytokine dengan keadaan paru paru rusak 60% dalam dua hari," tambahnya.

"Hebatnya oksigen darah saya tidak turun bahkan diam di 97-99 karena pola hidup sehat saya selama ini... hingga saya bisa selamat walau dengan kerusakan paru yg parah."

"Bayangkan kerusakan sebesar itu tanpa penurunan oksigen.. That's and the doctor help.. Make me pass my critical time... Life and death," ungkapnya.

Untuk diketahui, Cytokine Storm ini bukan hal baru dalam dunia kedokteran.

Cytokine Storm berperan langsung dalam menentukan tingkat keparahan SARS-CoV-2.

Hal ini sama kasusnya pada infeksi SARS-CoV dan Middle East Respiratory Syndrome coronavirus (MERS-CoV).

Apa itu badai sitokin alias Cytokine Storm?

Istilah "cytokine storm," dapat disebut sebagai hipersitokinemia., muncul dalam artikel pada 1993 yang membahas penyakit graft-versus-host.

Namun, sejak 2000, badai sitokin telah dirujuk pada berbagai penyakit menular, itulah sebabnya istilah ini paling sering digunakan untuk menggambarkan respons inflamasi yang tidak terkendali oleh sistem kekebalan.

Baca Juga: Diteliti, Jamur Pembunuh Penyebab Meningitis dan Infeksi Otak

Secara umum, peradangan akut (inflamasi) dimulai dengan lima gejala utama termasuk rubor, atau kemerahan, tumor, atau bengkak, kalori, atau panas, kehitam-hitaman, atau nyeri dan functio laesa, yang diterjemahkan dari bahasa Latin menjadi hilangnya fungsi.

Terlepas dari di mana peradangan terjadi, peningkatan aliran darah biasanya akan mengikuti gejala ini untuk memungkinkan protein plasma dan leukosit mencapai tempat cedera.

Meskipun respons seluler ini bermanfaat untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri, tapi sering kali terjadi mengorbankan fungsi organ lokal.

 

 
Penderita Covid-19 rentan terkena badai sitokin yang mematikan.

Selama badai sitokin, berbagai sitokin inflamasi diproduksi dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari biasanya.

Baca Juga: Cara Jitu China Kendalikan Covid-19 Varian Delta, Hanya Butuh Waktu Satu Bulan

Nah, produksi sitokin yang berlebihan ini menyebabkan terjadinya umpan balik positif pada sel kekebalan lainnya, yang memungkinkan lebih banyak sel kekebalan untuk direkrut ke lokasi cidera yang dapat menyebabkan kerusakan organ penderita.

Salah satu kondisi klinis paling menonjol yang terkait dengan badai sitokin termasuk sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), yang menyebabkan sejumlah besar kematian akibat SARS-CoV-2 atau Covid-19.

Jika tidak ditangani, badai sitokin oleh COVID-19 menghasilkan kerusakan imunopatogenik yang tidak hanya menyebabkan ARDS dalam banyak kasus, tetapi juga dapat berlanjut menjadi kerusakan jaringan yang luas, kegagalan organ, dan kematian.

Mengobati badai sitokin pada COVID-19

Jika sudah demikian apa yang akan dilakukan dokter?

Penelitian terbaru menemukan bahwa periode kritis 5-7 hari ada antara waktu diagnosis COVID-19 dan sindrom disfungsi organ ganda (MODS).

Sedangkan sekitar 80% pasien cenderung membaik setelah direntang waktu ini, sekitar 20% pasien akan mengalami pneumonia berat, sekitar 2% pada akhirnya akan menyerah pada virus ini.

Baca Juga: Innalillahi, Deddy Corbuzier Ungkap Hampir Meninggal usai Negatif Covid-19, Alami Badai Sitokin hingga Paru-paru Rusak Parah

Untuk diektahui, saat ini sejumlah besar terapi anti-inflamasi sedang dipelajari untuk mengobati badai sitokin dalam COVID-19.

Untuk secara langsung mengurangi efek merusak dari badai sitokin pada individu yang dites positif COVID-19.

Karenanya para peneliti merekomendasikan agar imunoterapi diberikan pada saat diagnosis badai sitokin.

Beberapa strategi imunoterapi terkenal yang telah diusulkan untuk tujuan ini termasuk antibodi penetral, yang dapat diperoleh dari plasma pasien yang sebelumnya selamat dari infeksi COVID-19, penghambat IFN, penghambat fosfolipid teroksidasi (OxPL), dan reseptor sphingosine-1-fosfat 1 (S1P1) antagonis.

Studi klinis lebih lanjut masih harus dilakukan untuk mengevaluasi sepenuhnya kemampuan opsi pengobatan ini untuk berhasil menghambat badai sitokin yang diinduksi oleh COVID-19.(*)

Baca Juga: Apa Jenis Olahraga Aman Bagi Penyandang Diabetes? Ini Jawaban Dokter