“Contohnya kanker paru-paru, salah satu cara deteksi kanker paru adalah tidak cukup dengan foto tetapi harus dengan lotus ct-scan, dan ini tidak ditanggung biayanya oleh pemerintah melalui BPJS. Nah inilah mengapa akses deteksi dini ini harus dibuka seluas-luasnya supaya tidak bertemu pasien di stadium lanjut,” kata dr. Awal.
“Karena jika sudah di stadium lanjut, biayanya semakin mahal dan kualitas hidupnya tidak baik. Memang ini seperti keluar biaya di awal, tetapi ini jadi tindakan pencegahan agar tidak terkena stadium lanjut,” lanjutnya.
Selain itu, dr. Eko Adhi Pangarsa, Sp.PD-KHOM, Ketua YKI Koordinator Jawa Tengah menjabarkan, beberapa faktor penyebab tingginya kasus kanker stadium lanjut di Indonesia, salah satunya akses pelayanan kesehatan Indonesia masih tertinggal.
“Beberapa permasalahan yang ada saat ini, antara lain akses pelayanan kesehatan di Indonesia masih tertinggal di Asia salah satunya dengan jumlah 1.18 tempat tidur per 1.000 penduduk dibandingkan negara lain sebanyak 3.3 tempat tidur per 1000 penduduk.
Dari data yang ada terjadi pengeluaran dana sebesar 11,5 miliar USD ke luar negeri untuk pengobatan dan kanker merupakan alasan kedua WNI berobat ke LN,” terangnya.
Dokter Awal juga menambahkan, belum adanya regulasi tentang sistem atau konsep pelayanan kanker yang terstandar atau berkualitas yang sama dengan yang ada di luar negeri juga menjadi tantangan terbesar dalam penanggulangan kasus kanker stadium lanjut
“Perlu adanya regulasi yang menekankan integrasi upaya preventif promotif. Upaya kuratif dan rehabilitasi yang dikelola secara komprehensif dalam suatu tata aturan yang orkestrasinya bisa dimainkan dengan indah demi keamanan pasien yang multidimensi di Indonesia,” ujarnya.
Untuk menanggulangi tingginya kasus kanker stadium lanjut, dr. Eko mengatakan peran serta pemerintah pusat sangat diperlukan.